Tepatnya bulan Agustus 1997 saya menjadi penghuni kota Surabaya. Sebenarnya males banget, apa sih enaknya? Panas, dan yang paling menakutkan saya yang baru lulus MTs (setara SMP) di desa adalah tawuran pelajar dan Dolly. Tapi cacak tertua saya (yang belum tahu, cacak adalah panggilan untuk mas atau kakak laki-laki khas daerah Lamongan) ngotot supaya saya SMAnya di Surabaya. Apa coba alasannya? Katanya biar dia nggak repot nganterin adiknya kesana-kemari kalo UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, kalo sekarang SNMPTN kalo nggak salah namanya) wakakakkkk… Tahu deh, biar adeknya yang imut ini dapat pendidikan yang lebih baik, He is good…
Momok yang paling saya takuti dari kota Pahlawan waktu itu adalah tawuran pelajar dan Dolly, sampai ngimpi-ngimpi dikeroyok masa sehari sebelum keberangkatan ke kota Surabaya, nggak jelas banget kan?. Meski Surabaya bukan kota yang asing, sering banget main ke sana kalo liburan, tapi untuk tinggal males banget rasanya. Yup akhirul kata (bukan akhirul cerita) sayapun terdampar di Surabaya.
Beruntung, SMA Muhammadiyah 2 Surabaya letaknya jauh dari Dolly. Saya yang masih unyu nan lugu nan ndeso (yang ini pendapat suami, katanya itu yang ada di pikirannya waktu pertama kali lihat aku wakakakk… biar ndeso begini akhirnya kamu kepincut toh sama aku, ngaku nggak?!) bener-bener takut dengan pergaulan di kota (yang menurut saya) besar.
Salah satu hal yang paling saya hindari adalah memasuki daerah Dolly dan sekitarnya. Bulu kuduk saya sudah berdiri dengan hanya memandang jalan masuknya saja, lebih ngeri dari nonton film horornya jupe. Tapi sebenarnya ada rasa penasaran yang amat mendalam untuk tahu, kayak apa sih disana. Maklum jiwa muda… Ndilala saya punya teman sekelas anak Banyu Urip dan diadakan pengajian bulanan disana, jadinya sambil ikut pengajian sambil intip-intip penasaran tapi takut, ooh seperti ini toh dari luarnya, gak jauh beda kayak rumah penduduk umumnya, kirain kayak diskotik di sinetron (hallow buk, itukan masih pagi).
Pernah suatu ketika, karena rasa penasaran saya ngajak teman saya lewat naik motor, teman saya yang sekarang jadi bu dosen di salah satu kampus swasta di Malang inipun ternyata sama penasarannya kayak saya. Saya dan teman saya ini memang pasangan yang rumit, sama-sama ceriwis, suka debat (apa ngeyel?), kalo pulang sekolah ada saja yang kami lakukan, kalo teman-teman yang lain pada ikutan bimbel, kita ikut organisasi di luar sekolah, kalo teman-teman yang lain suka ngemall, kita sukanya ke kampus-kampus, ngapain? Aah masa nggak tahu sih, mas-mas mahasiswa itu terlihat keren untuk kami yang masih berseragam abu-abu, jiakakakkkk… Eits jangan salah kira, saya dan teman saya ini langganan juara lho.. juara debat.
Yang lebih mbahe Cola adalah, ketika kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, semester tujuh, saya dan beberapa mahasiswa lintas jurusan kampus tercinta mendapat tugas untuk ber-Kura-Kura Ninja (maksudnya KKN, bukan Korupsi-Kolusi dan Nepotisme tapi Kuliah Kerja Nyata) di kelurahan Putat Bangah, kelurahannya Dolly selama satu bulan. Jreeeng…
Aduh, padahal pengennya dapat yang di kelurahan Keputih, sebuah kelurahan di belakang kampus Institut Negeri Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Menurut saya di Keputih lebih menantang, secara disana ada salah satu TPA (Taman Pendidikan Al-Quran? Hush bukan melainkan Tempat Pembuangan Akhir) terbesar di Surabaya. FYI di Surabaya ada dua TPA, TPA Benowo dan TPA keputih. Plus disana juga ada Tempat Pengolahan Tinja, buat saya itu jauh lebih menarik daripada Dolly, plusnya lagi tempatnya lebih dekat dan saya hapal betul lokasinya karena punya banyak teman yang kos disana dan sering cari makanan murah ala mahasiswa tongpis (kantong tipis) macam saya disana. Ibaratnya keputih itu my second village lah
Pertama kali datang kumpul di kelurahan Putat Bangah ketemu sama teman-teman sekelompok KKN lainnya, saya nggak mau lewat banyu urip, saya lebih memilih lewat Dukuh Kupang, karena kantor kelurahannya disebelah selatan Dolly. FYI lagi, Dolly itu adalah lokalisasi yang mirip perumahan satu cluster panjang (tapi banyak gang-gang kecil sih) dengan satu jalan utama. Di sebelah timur berbatasan dengan Banyu Urip dan Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Kupang (di sini ada Islamic center). Ternyata sama, teman-teman sayapun pada kebingunganmau ngapain kita disini? Bukan karena disini nggak ada masalah, tapi masalahnya disini guwedeeeee banget sampai bikin kita nggak pede. Siapa kita coba?
Walhasil, setelah melakukan pemetaan masalah dan lain-lain kami sepakat untuk melakukan apa yang bisa kami lakukan, wes apa ajalah jalan dulu sambil nanya ke pak Lurah, pak RW dan Pak RT. Disana kami melihat ada banyak sekali anak-anak dan mayoritas adalah keluarga muslim. Kayak gimana ya kehidupan anak-anak disana? Apa yang bisa kami lakukan ya?
FYI lagi, Di kelurahan Putat Bangah Kecamatan Sawahan, Surabaya ini terdapat dua lokalisasi itu membelah dan membagi jalan jarak menjadi dua bagian. Kalau dari arah Banyu Urip, sebelah kanan jalan adalah Jarak, untuk mereka yang ibaratnya mesin sudah aus, sudah nggak muda lagi yang tentu saja harganya juga murmer. Sementara di sebelah kiri adalah untuk mereka yang masih semelohe-semelohe, tempat (losmen)nyapun lebih bersih dan gemerlap, setiap menjelang jam lima petang perempuan-perempuan ini sudah siap dengan dandanan menor dan baju seksi menggoda. Sayang saya tidak terlalu pintar mendeskripsikan betapa cantik dan seksinya mereka dengan posisi menangtang siap dimangsa. Sayang banget juga, padahal kalo jadi istri, suaminya pasti betah di rumah. Jadi jangan kaget kalo lewat sana ada banyak rumah dari kaca yang isinya kalo malam adalah perempuan-perempuan ini. Saya dan teman-teman sampai menganalogikan dengan ikan di akuarium yang terang benderang.
Di kecamatan Sawahan, tepatnya kelurahan Banyu urip selain Dolly dan Jarak juga terdapat lokalisasi waria yaitu di kuburan kembang kuning. Saya pernah tersesat mesuk ke kuburan kembang kuning ini jam 8 malam, karena diajak syukuran bersama salah satu pak RT di Dolly dalam rangka malam 17 agustusan bersama teman-teman KKN yang lain. Naasnya karena kos-an saya di sebelah timur Dolly dan waktu banyak jalan ditutup untuk malam 17 agustusan, saya puter-puter dan masuklah saya ke komplek kuburan ini. Tancap gas begitu sadar sambil istighfar dan sholawat sebanyak-banyaknya, Alhamdulillah keluar juga dengan selamat tak kurang suatu apapun. Ternyata jam 8 malam masih terlalu sore untuk mbakmas-mbakmas ini.
Lanjuut…
Akhirnya kami cari masjid (yang di daerah sebelah kanan jalan Dolly), berkenalan dengan pengurus, dan kami menawarkan tenaga untuk membantu mengajar ngaji anak-anak di TPA (yang ini baru Taman Pendidikan Al-Quran). Wow mengajar ngaji disini dengan waktu ba’da ashar sensasinya Ruuaarrr biasa. Suara saya nyaris habis bersaing dengan dentuman musik yang mulai meraja. Ini masih sore lho, gimana kalo sudah malam. Kata Pak ustadz disana, anak-anak ini sebagian adalah anak-anak dari perempuan yang harus diselamatkan (apa ya, kata yang betul? Menyebut mereka pekerja menurut saya itu bukan pekerjaan).
Semakin lama kami semakin akrab dengan anak-anak disana, kegiatan mulai dari mengaji, mendongeng, panggung boneka, menari, penyuluhan hidup bersih dan sehat, posyandu, hingga penyuluhan sex aman ke mbak-mbak disana, hayo tebak siapa yang harusnya ngasih penyuluhan?. Tapi acara terakhir batal, kami ditolak, toh kalau dilogika mereka pasti akan bilang “oalah dek- dek, kalian itu belum pernah ginian aja koq mau ngasih penyuluhan ke kita-kita yang sudah pengalaman, iso-iso malah wakmu seng tak ajari”.
Saya nggak kan bercerita detil kegiatan KKN kami, pertama karena I forgot every single detailnya dan toh bukan itu tujuan saya nulis ini.
Dari seminggu ini pikiran saya melanglang ke Surabaya, membayangkan #BuRisma dan mendoakan beliau. Bahwa benar anak-anak dan perempuan disana butuh pertolongan. Menutup lokalisasi bukan karena membenci mereka tapi karena sayang mereka, sayang masa depan mereka.
Banyak cerita yang kami dapat selama sebulan disana, cerita tentang kehidupan yang tidak penah ada dalam pikiran kami. But it’s real, di Surabaya, di kotaku tercinta tak jauh dari tempat kami menimba ilmu. Pak ustadz pernah cerita ke saya, anak-anak ini banyak yang nggak punya bapak, mulai dari ditinggal bapaknya pergi hingga sang ibu terjerumus dimari sampai yang nggak jelas bapaknya siapa. Nasib mereka? Kebanyakan ada yang berusaha menggugurkan kandungannya, ada yang berhasil ada yang memang bandel bin kuat janinnya. Dan ya, mereka hanya punya ibu tanpa punya bapak.
Ada juga cerita, perempuan-perempuan ini dalam semalam bisa melayani hingga belasan laki-laki tak bermoral (enak banget kalo cuma disebut hidung belang). Gleekk… saya dan teman-teman perempuan lain yang masih perawan waktu itu langsung menelan ludah, emang bisa ya? Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Masih lumayan kalo dapat pelanggan yang baik (normal sex behaviour) kalo dapet yang punya kelainan, mukulin dulu misalnya baru puas gimana coba?, kasihan banget mereka.
Ada juga yang sampai hamil tua juga masih harus “dikerjain”. Saya nggak habis pikir, koq tega yang make. Kalo sama suami sendiri tentu “mainnya” aman, kesehatan sang janin dan ibu diutamakan. Lha ini? Laki-laki itu kesini kan cuma buat cari enaknya doang. Nggak berani bayangin sayanya.
Bahkan ada juga yang masih usia anak SMP, ha? SMP, secara fisik aja belum jadi betul itu, masih berkembang, koq bisa-bisanya. Kalo saya mendengar hal itu sekarang, mungkin tidak heran lagi dimana banyak video-video anak-anak SMP diunggah di internet. Tapi ini sepuluh tahun yang lalu, lha wong saya saja SMP masih tipis kaya triplek. Tapi kata suami, “itu kan kamu, kurang gizi dan telmi untuk masalah begituan, temanku SMP ada yang memang nyari duitnya lewat jalan itu”.
Keinginan untuk bisa membeli baju, sepatu, perhiasan atau sekedar bisa makan di mall bisa menjadi dorongan yang kuat untuk itu. Apalagi sekarang, godaan gadget dimana-mana, satu rilis disusul yang lain ngerilis yang lebih canggih, lebih ringan, lebih banyak fiturnya dan tentunya lebih bergengsi untuk ditenteng kemana-mana.
Ada banyak cerita kenapa mereka sampai mendarat di pulau Dolly ini, ada yang karena desakan kebutuhan perut, nggak punya keahlian lain katanya. Ada yang karena perintah suami (Astaghfirullahal’adziim). Ada yang karena korban perkosaan, merasa tak berharga lagi, tidak diterima masyarakat dan akhirnya terlanjur basah ya sudah mandi aja sekalian. Ada yang hamil diluar nikah, si bapak tidak mau tanggung jawab, diusir keluarga dan selanjutnya bisa ditebak sendiri. Bahkan ada juga yang merasa asik aja, karena dia punya kebutuhan sex yang besar jadi kan lumayan plus dapat duit.
Kalo cerita tentang mucikarinya, saya tidak punya, apalagi premannya, mereka umumnya sangat tertutup. Atau sayanya yang sudah keder duluan lihat mereka.
Yang menyedihkan adalah anak-anak yang tinggal di sekitar sana. Ketika anak-anak seumurannya baru tahu kelereng, boneka minta permen atau donat, mereka sudah tahu lonte (pelacur dalam bahasa jawa), alat kemaluan perempuan dan laki-laki dalam bahasa jawa (nggak sampai hati nulisnya). Bicaranya kasar, umpatan-umpatan yang biasa mereka dengar tiap tiap hari meresap di hati dan otak mereka. Jancuk, asu (dan teman-teman sekebun binatang mereka), d*b*l adalah salah satu contoh yang bersliweran. Memang ada yang bilang itu adalah ciri khas orang Surabaya untuk menunjukkan keakraban, bukan berarti mengumpat, tapi koq rasanya nggak pas kalo anak-anak yang ngomong. Teman-teman di ITS dulu bilangnya JANCUK itu Jadilah ANak Cerdas Ulet Kratif. Whatever, buat saya tetap tidak baik untuk anak-anak.
Saya juga dapat cerita yang sama seperti yang sudah pernah #BuRisma ceritakan tentang anak-anak yang membayar nenek-nenek seribu rupiah demi memuaskan rasa ingin tahunya. Mereka bilang istilahnya “sak korek” atau satu korek api. “sak korek” harganya seribu rupiah, si nenek menyalakan korek apinya (yang pake lidi bukan gasolin) dan si bocah bebas ngapain saja selama api di korek masih menyala, kalo kurang ya harus bayar untuk satu korek berikutnya, begitu seterusnya. Astaghfirullah…
Belum lagi kekerasan verbal bahkan fisik yang sering mereka terima. Mereka hidup dalam dunia yang tidak ramah dan benar kata #BuRisma, mereka butuh diselamatkan.
Dan setelah sebulan, kami hidup bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, bermain bersama mereka, dan usai sudah semuanya. Laporan KKN adalah saksi bisu kebersamaan kami bersama anak-anak di lokalisasi Dolly. Adik-adik itu menangis melepas kepergian kami di hari terakhir, kamipun hanyut dalam isak tangis yang sama. “Kakak jangan lupakan kami ya, sering main kesini ya?” kami hanya bisa mengangguk lemah.
Dan setelah itu, nilai A kami dapat dalam kredit semester KKN, Nilai ini menjadi sumbangsih akan kelulusan kami sebagai sarjana. Nilai ini ikut merubah status kami dari mahasiswa menjadi sarjana. Tapi apa yang berubah dari mereka, Apakah perempuan dan anak-anak disana berubah setelah kedatangan kami? Apa kehidupan mereka lebih baik? Sudah jadi apa anak-anak yang sepuluh tahun lalu bermain-main bersama kami? Apakah mereka sekarang menjadi lebih baik, terpelajar, punya usaha sendiri, jadi dokter, atau jangan-jangan adik kecil kami ini menjadi salah satu barisan yang rela mati untuk Dolly.
Maafkan kami adik kecil, kami terlalu pengecut, kami terlalu egois, ternyata di mata kami kalian hanya sebatas objek penelitian untuk ditulis dan yup bisa membantu kelulusan kami.
#BuRisma yang baik hati, penyayang, tegas dan teguh membela kebenaran, doa kami untukmu. Semoga engkau diberi kekuatan yang luar biasa, karena mereka membutuhkan pertolongan. Yang mereka butuhkan adalag ketegasan, keberanian untuk menatap masa depan yang lebih terhormat, lebih mulia, lebih terang dari sekarang.
Sungguh sangat disayangkan, disaat seperti ini masih ada pihak-pihak yang mencoba dengan segala cara untuk menyelamatkan lokalisasi Dolly, dengan dalih HAM dan teman-temannya. Mereka bahkan rela mati dan tak segan mengucurkan darah saudara sendiri demi berlangsungnya kebutuhan perut dan bawah perut tak halal mereka. Entah sudah berapa milyar rupiah yang mereka dapat dari Dolly, dan siapa yang mau kehilangan sumber mata uang sebanyak itu? Jadi alasan HAM yang mana? Trus, gimana dengan HAM anak-anak untuk mendapat lingkungan yang baik, perlakuan yang baik, untuk mendapat garis keturunan yang jelas? Dimana HAM perempuan disana? Setelah “dikerjain” pelanggan masih harus “dikerjain” mucikari dan preman. Dimana HAM seorang istri di rumah yang menunggu suami sedang melampiaskan nafsu binatangnya di tempat portitusi. Ini bukan sekedar hati yang tersakiti, tapi ini juga menyangkut kesehatan dan nyawa yang merupakan kebutuhan dasar manusia alias HAM. Bukan tidak mungkin sang suami pulang ke rumah dengan membawa penyakit kelamin, raja singa atau gonorhe, penyakit menular seksual bahkan HIV/AIDS. Lantas dimana HAM?
Bukankah #BuRisma, Pemprof Jatim, dan pemerintah pusat melalui Kementrian sosialnya tidak berpangku tangan saja. Memberi solusi yang menghabiskan anggaran tidak sedikit, tapi saya yakin kami rakyat Indonesia tak ada yang keberatan uang kami digunakan untuk menyelamatkan saudara-saudara kami di Dolly, bahkan juga dilokalisasi lain.
Memang, menurut teori yang dulu saya pernah dapat, keberadaan lokalisasi ini lebih baik dari pada jika portitusi berlangsung sporadis. Keberadan lokalisasi memudahkan pemerintah untuk memberi kontrol dan campur tangan karena mereka berada dalam satu lokasi. Keberadaan orang-orang Dinas Kesehatan yang siap memberi pelayanan baik yang bersifat Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif.
Yang menjadi pertanyaan saya, jika pemerintah melakukan kontrol dan kita semua dari agama apapun meyakini bahwa berzina itu dosa, apalagi dengan melegalkan portitusi melalui keberadaan lokalisasi, kenapa Dolly membesar? Kenapa semakin banyak wisma disana? Dan parahnya kenapa Dolly bercampur dengan perumahan penduduk? Diamana kontrol akan kebutuhan dan HAM anak-anak di sana? Selanjutnya, sanggupkah pemerintah mengontrol efek lanjutannya? Laki-laki ini punya keluarga, punya istri dan anak di rumah. Bagaimana dengan kesehatan mereka?
Ah sudahlah, terlalu bullshit kalau kita mengira semua pelanggan mau menggunakan kondom disana. Secara kondom dianggap pengurang kenikmatan. Konon katanya dengan menggunakan kondom, sex jadi lebih aman, tidak hamil dan menghindari terjadinya penularan Penyakit Sex Menular (PSM). Masa sih? Meski masih banyak pro-kontra, saya penah membaca dibukunya Prof. DR. Dadang Hawari, diameter pori-pori kondom itu empat kali lebih besar dari diameter virus HIV. Nah loh!! Karena sejatinya kondom itu adalah salah satu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan bukan untuk menghindari penularan penyakit sexual.
“Itu keputusan final. Kalau mereka (yang menolak) berpikir penutupan itu hanya di Ramadan saja dan akan dibuka lagi setelah lebaran, penutupannya tidak seperti itu. Penutupannya permanen, dan ini berlaku juga di sejumlah daerah di Jawa Timur, tidak hanya untuk Dolly saja,” terang Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, Jumat (27/6) di tribunnews.
Temans, mari kita doakan semoga penutupan Dolly bisa dilakukan secara permanen, jangan lelah memberi dukungan, meski raga tak menyentuh kesana, tapi doa, harapan dan dukungan kita sangat berarti. Semoga Dolly ditutup permanen, dan semoga menjadi contoh untuk daerah lain agar berani menutup lokalisasinya.
Discussion
No comments yet.