//
you're reading...
Home Education, Uncategorized

Filosofi Homeschooling

Sebenarnya minder bin kelapa muda alias deg-degan mau nulis ini. Berat euy, secara kapasitasku masih jauuhh dibanding para senior dan mastah dalam dunia perhomeschoolingan. Jadi ijinkan aku nulis apa yang aku rasa sebagi pelaku, sebagi ibu yang mendampingi putra-putriku menjalani proses Homeschoolingnya.

Kalo ada salah atau kurangnya, dengan senang hati aku terima, gak cuma itu aku juga terima parcel dan transferan, wakakakak…

Lanjutan dari tulisan tentang menimbang SFH dan HS.

*********

“Anak-anak gak usah sekolah ya?!” begitu kira-kira pinta suami sebelas tahun lalu, saat si sulung dua tahun, dan masih jadi anak tunggal.

Yang tentu kujawab dengan penolakan besar, lha ini soal masa depan anak jee, sak karepe dewe.

“Anak-anak memang tidak sekolah, tapi kan tetep belajar?” Aku berusaha mencerna kalimatnya, TAK sekolah tapi TETAP belajar?. Gimana? Sama siapa? Belajar apa? Prakteknya? Entar ujung-ujungnya gue lagi gue lagi. Gak acih ah…

Cerita lengkapnya bisa dibaca disini ya gaess.

Memperluas Definisi Belajar

Itu yang aku tangkap dari obrolan dengan suami dan hasil ikut seminar serta mempelajari Homeschooling. Sejak kecil bagiku definisi belajar adalah math, english, sejarah, IPA, IPS, penjaskes, agama, dan lain-lain. Bagiku disebut belajar jika membawa buku, duduk anteng, catat sana-sini.

Bahkan dulu aku sering ditegur ibu dan kakakku karena baca buku pelajaran, ngerjain PR sambil nonton TV, sambil main kartu dengan teman kos, sambil ngobrol, dan lebih suka baca buku non pelajaran. Konon seperti itu bukan belajar, hehehehe…

Meskipun ada penolakan akan kata “belajar” yang serem (harus serius, gak boleh disambi) tapi tetep definisi belajar buatku dulu adalah masih seputar pelajaran sekolah atau materi kursus.

Lanjut… dari sinilah definisi belajar buatku meluas, tak hanya ketika anak belajar pelajaran sekolah, lebih dari itu semua-mua pengalaman yang kami alami bersama adalah proses belajar untuk tumbuh kembang anak-anak dan dan tumbuh (gak pake kembang, takut gemuk?) buat emak-bapaknya.

Bukankah ketika bayi anak berusaha angkat kepala kita sebut sedang belajar angkat kepala, anak berusaha merangkak kita sebut belajar merangkak, ketika makanan di piring diberantakin kita sebut belajar makan. Maka kenapa definisi belajar saat usia anak sekolah jadi terdegradasi banyak hanya bersisa pelajaran sekolah?

Kenapa memperluas definisi belajar?

Karena memang sejatinya belajar itu luas, dan mencakup kebutuhan anak sebagai individu dengan aspek jasmani-rohani-sosial-intelektualnya. Pelajaran sekolah adalah sebagian kecil dari keseluruhan proses dan kebutuhan belajar anak.

Ketika anak-anak bertengkar rebutan mainan, sejatinya mereka belajar menawar, menimbang rasa, simpati, argumen, mempertahankan dan menundukkan ego. Ketika mereka mau ngegrecokin di dapur sejatinya mereka sedang belajar matematika, fisika, kimia, waktu, motorik halus dan kasar, juga belajar proses masaknya itu sendiri.

Ketika sedang ngadat dan ngambek mereka sedang belajar menghibur diri sendiri, belajar bertanggung jawab mengambil resiko atas keputusannya. Dan seterusnya…. Ok fix, dua paragraf ini khususon spesial kutulis buat diriku sendiri, yang sering terburu-buru gak sabaran mengcut proses belajar mereka. Rilex maakk… tahan…. kunci mulut… perbanyak istighfar aja ya mak.

Keuntungan kedua adalah mengurangi spaneng jiwa raga emak. “Ooh, anakku memang tidak belajar buku pelajaran IPA hari ini, tapi dia sudah belajar sains fungsi baking powder dan banking soda”. Atau “Ooh, anakku memang sedang ngambek sedang gak mau semua-mua, dia sedang belajar berdamai dengan dirinya sendiri, sedang belajar mengenal tanggung jawab kalo tugasnya ditelantarkan”. Sehingga alam bawah sadar kita akan bilang “it’s OK, mereka belajar koq”.

Dan itu penting!! Biar kita gak sibuk tanya “anakku koq gak ngapa-ngapain?

Belajar mengelola emosi, belajar bekerja keras, belajar menghargai orang lain, disiplin, menundukkan ego, mempertahankan pendapat, simpati-empati, itu kebutuhan yang long-life sifatnya. Hal yang manusia butuhkan sepanjang hidup.

Belajar apa saja, dimana saja, kapan saja kepada siapa saja yang mencerahkan. Kurang lebih begitu jargon tak tertulisnya Homeschooling. Tak ada sekat kelas, tak ada sekat buku, tak ada sekat aplikasi, tak ada sekat waktu, tak ada sekat materi (selama baik tentunya), tak ada sekat jenjang pendidikan dan kedudukan selama  mencerahkan (berilmu dan akhlak baik) bagi sumber belajar.

Betapa luas arti belajar, betapa banyak yang bisa kita pelajari, betapa dalam materi yang bisa kita gali, betapa banyak sumber belajar atau referensi yang bisa kita eksplore.

Bukankah ada pepatah bilang tuntutlah ilmu ke negeri cina?. Bahkan Rasulullah bersabda tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat. Kata pertama pada ayat pertama yang turunpun “iqro”, bacalah. Jadi keinget anak pertama empat tahunan lalu ketika didebat temannya disuruh sekolah, mungkin maksud hati biar asik ketemu terus di sekolah dan di rumah. Dia menjawab kurleb “emang Allah suruh kita sekolah, nabi Muhammad aja gak sekolah”. Ampun dah bocah ??, eh tapi bener juga sih ?.

Apakah kita malu ketika anak ingin belajar bikin mie ayam dari abang mie ayam keliling?

Apakah kita malu ketika anak menawarkan jualannya di ibu-ibu komplek?

Apakah kita malu ketika anak kita di usia 7 tahun belum pandai membaca dan menulis apalagi berhitung?

Apakah kita marah ketika anak membawa “sampah” dedaunan ke rumah, memainkannya?

Jika masih ada rasa itu, berarti definisi belajar kita masih dibatasi empat tembok. Dobrak tembok itu, merdekalah…

Sesuai kebutuhan anak dan keluarga

Ini nih yang paling oke dari Homeschooling, fokus pada kebutuhan anak terutama dan keluarga. Karena tak semua anak cocok dengan semua materi sekolah, tak semua anak cocok dengan metode pembelajaran sekolah. Tak semua pelajaran sekolah wajib dikuasai anak, tak semua anak harus unggul disemua mata pelajaran.

Berkaca pada pengalaman pribadi, kami bersyukur mengenal Homeschooling diawal usia pernikahan kami. Saat anak pertama dua tahun, meski anak pertama mungkin kalo dulu disekolahkan juga gak akan nolak, asik aja, bahkan cenderung suka berkompetisi.

Hanya saja, membayangkan dia harus mengunyah materi yang kemungkinan nanti tidak terpakai, sementara ada hal lain yang butuh untuk dikejar membuat kami memutuskan homeschooling.

Anak kedua beda lagi, speech delay hingga usia 4 tahun alhamdulillah sekarang lancar bicaranya meski kemampuan komunikasinya masih belum sempurna dan berbeda dibanding anak-anak seumurnya. Saya jadi membayangkan, jika memaksakannya masuk sekolah, tentu perlu perjuangan untuk adaptasinya. Sakleknya terhadap aturan, rigidnya, materi yang gak dia banget, bahkan sampai kemungkinan bully yang bakal dia terima.

Trus dikekep di rumah terus gitu? Ya nggak lah gaess… kita bisa memilihkan kegiatan yang memang sesuai dengan minatnya atau bakatnya. Kita bisa lebih leluasa mengemas kurikulum belajar sesuai kebutuhannya yang khas, pun anak-anak yang lain juga begitu. Lagi-lagi tiap jiwa itu unik bukan? Penyeragaman membuat mereka tak bisa maksimal dalam berkarya. Tak bisa tumbuh dengan utuh.

Membawanya di kegiatan emak-bapaknya bisa menjadi solusi, ikut komunitas Homeschooling ketemu teman-teman seusianya, main bareng, belajar bareng, emaknyapun bisa cap cup ngobrol aneka rupa dengan ibu-ibu yang lain. Atau ikut komunitas hobby sekalian menyalurkan hobby dan membangun relasi dan koneksi.

Jadi gaeess…. bagaimanakah definisi belajar menurutmu?

In syaa Allah masih bersambung tulisannya… doakan ya gaeess… pengen banget bisa rajin nulis?

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


1 × = two