//
you're reading...
Home Education

Kuberanikan melepasnya

“Ra usah adoh-adoh, ndek suroboyo wae (gak usah jauh-jauh, di Surabaya aja)” dan aku tetep nawar. “Yowes, malang paling adoh (ya sufh, malang paling jauh)”. Lanjut beliau.

Saat itu aku tak tahu ada apa dengan pilihanku, apa yang salah dengan tujuanku sampai ibuku melarangnya. Aku akan jaga diri baik-baik, aku akan selesaikan kuliahku dengan baik, begitu gerutuku dalam hati.

Tapi melihat nanarnya tak sanggup kuungkap rentetan kalimat yang sudah kutata rapi, maka kumasukkan semua ke lemari hatiku dan kukunci rapat-rapat. Kuanggukkan kepala.

Aah, berhadapan dengan perempuan ini, entahlah… kurasa dia perempuan paling sabar sedunia, sepanjang hidupku jarang sekali dilarang, jarang dicereweti olehnya. Dan bikin aku bertanya, keras kepala dan bawelku ini turunan dari mana?

Akhirnya kuturuti maunya, ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi) dan kuliah di kota Surabaya. Padahal ibarat kata mah, aku sudah bosan dengan Surabaya, tiga tahun masa SMA sudah cukuplah. Aku ingin ke luar dari zona nyamanku, aku ingin kuliah di Bandung atau Jakarta, bahkan aku bermimpi kuliah di luar negeri, paling deket yogya deh. Hehhehe… boleh kan bermimpi.

Kota Malang yg notabene lebih jauh aku coret karena saat itu ada mahasiswa unibraw yang “ngejar” aku, uhuy… prikitiwww.

Hingga lima belas tahun kemudian, kuajak ibu jalan-jalan ke Universitas Indonesia, kami berangkat menggunakan moda transportasi KRL, turun di stasiun UI kemudian naik bis kuning (bis kampus) keliling UI. Setelah puas keliling kampus, mampir ke masjid UI dan makan disana. Duduk-duduk di selasar masjid sambil menikmati pemandangan danau dan semilir angin.

“Ini kampus yang aku pengen dulu bu”.

“Ya Allah nak, koq gak ngomong, uwapik tenan kampuse, ombo, adem, ono bis-e pulak (ya Allah nak, koq gak bilang, bagus banget kampusnya, luas, adem, ada bisnya juga)”.

Jiaaah… nasi sudah jadi bubur kacang ijo, mana bisa diulang. Kalo dulu punya duit, sudah kuajak ibu jalan-jalan ke kampus-kampus keren, biar dapat doa dan ridhonya. Salahku sendiri sih, bilangnya pengen kuliah yg jauh, bosan disini-sini mulu, pengen tantangan baru, tempat baru. Gak persuasif bgt alasannya.

Dan beberapa saat yang lalu….

Aku berdiri di tempat ibuku, galau saat mas Tangguh bilang pengen ikut papa naik gunung. Di usianya yg ke 9 tahun, Alhamdulillah sudah banyak perkembangannya dibandingkan masa kecilnya dulu.

Terlintas slide episode demi episode menemani tumbuh kembangnya. Dia istimewa dari Allah Ta’ala. Teringat tantrumnya, belajar bicaranya yang menguras tenaga dan air mata. Dan disaat belum genap dua tahun, Allah menitipkan adik kembar padanya. Haah… kalo ingat masa-masa itu, aku sendiri gak Percay, koq bisa ya?. Allah yang memudahkan.

Mungkin rasa ini yang dulu mengikat ibuku, rasa sayang yg sangat, takut kehilangan, takut jarang ketemu karena jauh, takut aku gak bisa jaga diri, dan lain-lain. Apalagi perempuan dan ragil (bungsu) dan rada susah diatur xiixxii..
Dan kini Tangguh minta sendiri, sejak setahun lalu saat kakaknya yg lebih dulu diajak papa naik gunung. Akhirnya tahun kemaren diajak ke gunung Prau wonosobo, gunung yang katanya friendly buat newbie hiker. Entah sefriendly apa, aku tak tahu, ngebyangin jalan nanjak aja betisku rasanya linu.

“Aku mau naik gunung, kayak papa” pintanya saat tahu papa mau naik gunung ged .

“Naik gunung itu gak sama dengan kemping, Tangguh harus berjalan lama dan jauuuhhh, dan gunung gede gak kayak gunung prau, gunung gede lebih tinggi ,perjalanannya bisa dari pagi-siang bahkan sampek malam”

Eeh, tuh bocah tetep keukeuh.

Syarat untuk naik gunungpun dipenuhi, belajar tahan gerah karena kepanasan, belajar jalan jauh, belajar bawa beban di punggung, belajar tidak gampang mengeluh, belajar memelihara emosi saat capek. Latihan jalan pagipun dijabani. Meski mengeluh capek, tapi kalo diajak latihan jalan langsung semangat. “Aku kan mau ke gunung”

Dan itu gak mudah gaeesss…

Apalagi buat bocah. Tapi dari latihan per latihan, papanya ambil kesimpulan bisa diajak naik gunung, meski tetap bakalan berat dan capek. Karena seorang hikerpun tetap berat dan capek kalo naik gunung. Believe me, tiap turun gunung tuh, aku alih profesi jadi tukang urut, tukang masak, tukang ac aja yang nggak, wakakak…

Dan akunya yang makin mengkeret. Naluri keibuanku ingin melarangnya, sama halnya ketika papanya bilang mau mendaki gunung. Kalo sakit gimana? Kalo hilang gimana? Kalo jatuh gimana? Kalo ada macan gimana? Dan seterusnya rentetan pertanyaan yang tidak berdasar.

Tapi nalarku kupaksa berlogika, jadilah yutubanku yang awalnya buat cari resep batagor, atau dengerin tausiah sekarang nambah ngecengin para hiker. Dari sana aku tahu, semua ada persiapannya, semua ada peralatannya, semua ada ilmunya, semua ada catanya, gak asal grusa grusu, asal pergi.

Justru ada hal-hal baru yg bisa dipelajari dan dipraktekkan langsung, tentang survival, tentang fiqih, tentang ketahanan, tentang menjaga diri tetap Istiqomah dalam kondisi yang tidak normal.

And, here we go… mas Tangguh at the top of mount Gede.

Sebagian dari foto dan video yg dikirim papa dalam perjalanan pulang.

Sebagian dari foto dan video yg dikirim papa dalam perjalanan pulang.

Meski rasa khawatir itu tetap ada, tapi mama tidak mau jadi penghalang dalam perjalanan panjangmu nak. Mama yakin akan ada banyak pelajaran yang kau dapat dalam safarmu

Jaman telah berubah, bisa jadi saat ini mama tahu lebih banyak hal, tapi nanti sangat mungkin kau anggap mama kuno. Dan semoga ketika saat itu tiba, mama bisa lebih bijaksana untuk menerima “ya, ini sudah bukan jaman mama”. Semoga mama nggak menjadi mama yang kemeroh dukun, sok tahu, atau pura-pura tahu demi sebuah gengsi atas nama aku lebih tua darimu.

Pesan mama cuma satu, jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.

*cerita lengkap versi Tangguh, in syaa Allah menyusul ya… doakan semoga emaknya kambuh rajinnya.

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


− two = 4