//
you're reading...
Uncategorized

Landaikan Kurvanya

Landaikan Kurvanya…

Tulisan diawal pandemic, diawal stay at home, yg berujung jadi draft karena akunya maleso bangeto ngelanjutinyo.

Gini ceritanya…

“Kemaren (waktu berjemur) faruq nempel sama mbah, minta dipangku, eehh ditarik aja sama X2, gak boleh katanya”, kata mbah uti sebelah rumah dengan nada getir.

Mbah uti ini teman ngobrol ibu kalo pas main ke Depok. Sayang banget sama anak-anak. Maka kewajibanku adalah memuliakan teman ibuku.

“Maaf mbah, saya yang suruh” jawabku, kulihat embun di matanya.

“Mbah gpp koq, kan memang dari dulu punya asma”.

“Saya tanya sama anak-anak, sayang gak sama mbah uti, mereka jawab sayang. Kalo sayang, gak main dulu ya sama mbah, ngobrolnya gak boleh deket-deket. Alhamdulillah kita sehat, tapi kita bisa bawa virusnya ke mbah (3 kakak 1 mas sudah paham penyebaran virusnya). Mbah punya sakit asma, takutnya kita sehat tapi bawa virus buat mbah”.

“Emang orang sehat bisa menulari mamanya Liv?”

“Sangat bisa mbah, banyak kasus yang mudik kemaren bawa virus ke kampung, padahal sehat wal afiat.  Smoga bisa normal lagi, anak-anak bisa main sama mbah ya.. “.

Landaikan Kurvanya….

That’s all we can do, karena kita warga negara, bukan pemangku kebijakan. Perihal kebijakan besar tentu kita tak punya kuasa.

Laju penularan covid19 eksponensial,
Pict by: katadatadotcom

#Jagajarak, #dirumahaja

Kalo soal lockdown, karantina wilayah, larangan mudik, kebutuhan dasar warga, kebijakan kesehatan, kebijakan mudik, itu otoritas pemerintah.

Yaa… paling emak-emak macam aku cuma bisa ngomel di sosmed.

Didengerin syukur, dicuekin bahkan dituduh macem-macem yowes. Semua pertanggungjawabannya masing-masing toh.

Landaikan kurvanya…

Gaeess, suka tidak suka, entu pirus bakal ngetok rumah kita, cepat atau lambat. Tanpa lockdown atau karantina wilayah, apalagi pemerintah memutuskan boleh mudik, setelah sebelumnya gak boleh yang boleh pulang kampung, entah gak kebayang penyebarannya.

Yang kuat tetap sehat atau gejala ringan, yang lemah, tua, bayi, perokok, penderita diabetes, jantung dll ….. lanjutkan sendiri.

Akhirnya yang bisa kita lakukan adalah brace your self. Mempersiapkan diri, agar ketika dia datang atau bahkan sudah datang, imunitas kita siap menghadang.

Iya bener secara matematika kemungkinan sembuh covid19 sangat tinggi, meski gejala sudah berat (sesak nafas) jika mendapat penanganan yang tepat. Dengan CFR (Case Fatality Rate) alias angka kematian dibawah 10 %, bahkan ada negara yang angka kematiannya nol koma sekian persen. Berarti angka kesembuhannya tinggi.

Ya udah, santuy aja napa? lagian yang mati itu kebanyakan yang sudah udzur, sepuh dan punya riwayat sakit. Helloowww… Covid19 ini masih misteriously dieases. Dengan strain virus yang beraneka (puluhan dan kemungkinan bisa lebih banyak lagi) dimana simptoms atau gejalanya unik, tak selalu sama, model serangannya juga macem-macem, penularannya sangat mudah, sebarannya cepat,  selain droplet bisa jadi via aerosol (udara gaees), bahkan penemuan terakhir ada menyebutkan virus ditemukan di feses dan sperma. Nah lhoo… bingung kan?

Ingat ya kuncinya SESAK NAFAS. Sesakti mandragunanya mak lampir, dia tuh tetep butuh oksigen buat bisa nakutin orang trus ketawa genit, qiqiiqiqqiqiiiiqqq. Gimana caranya dapat oksigen? BERNAFAS.

Aah gampang, itu kan cuma virus, perbanyak asupan vitamin C dan E. Kalo susah nafas tinggal colokin oksigen. Gampang kan?

Tuuh pinter, COLOKIN OKSIGEN ke hidung pasien? Bukan sayang, kalo sekedar tabung oksigen, aku mah ada beberapa di rumah buat jaga-jaga. More than that, sesak nafas yang akut karena kerusakan  akut dan besar-besaran pada paru-paru butuh ventilator. Dimana oksigen dicolokin langsung ke paru-paru pake selang. Entah gimana rasanya, takut bayanginnya.

Gimana caranya? Dimana dapatnya? Di pasar? Atau poskamling? Atau tukang sayur keliling? Nggak sayangku, di Rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang memadai untuk itu. Ingat, tak semua fasilitas kesehatan kita mempunyai itu.

Okey, Berapa kemampuan rumah sakit kita menampung pasien Covid19? Belum pasien penyakit lainnya, belum kebutuhan akibat kondisi darurat (kecelakaan, melahirkan dll).

Loe tahu kenapa wisma atlet sim salabim jadi RS? Karena RS yang asli sudah gak muat. Pasien covid19 harus dikarantina gak boleh dicampur dengan pasien penyakit lain.

Daan, kalo penderitanya semakin banyak, bertambah terus, naik eksponensial, sementara fasilitas kesehatan kita pas-pasan meski pemerintah berusaha nambah disana-sini, rakyat patungan beli masker dan APD buat tenaga kesehatan. Gak nyucuk kalo arek suroboyo bilang. Gak imbang gaes.

Landaikan Kurvanya…

Lha terus kalo gak cukup gimana? Ya udah, gak bisa dilayani dengan baik. Bukankah sekarang sudah berlaku aturan isolasi mandiri bagi yang bergejala ringan (batuk, demam) meski hasil pemeriksaan sudah positif covid19.

Loe positif? Iya.

Sesak nafas? Nggak.

Ooh cuma batuk doang. Maaf ya sebaiknya isolasi mandiri saja di rumah, jangan kemana-mana, takutnya menular ke yang lain. Kalo memburuk hubungi kami.

Helowww…. gak semua orang Indonesia, eh salah, sebagian besar rakyat Indonesia rumahnya pas-pasan, gak ada paviliun buat isolasi. Trus keluarganya gimana? Orang tua? Ada yang sakit lain? Bayi?

Landaikan Kurvanya…

Kurang bukti apa sih? Itu tandanya fasilitas kesehatan kita gak mampu menampung ledakan pasien. Itu yang bikin angka kematian covid19 di Indonesia tinggi. Sakit tapi tak berdarah, eh itu mah patah hati. Sakit tapi tak tertangani dengan baik atau bahkan sama sekali tak tertangani.

Ini yang bikin angka kematian tiap negara berbeda, ada yang nol koma persen ada yang belasan persen. Indonesia? We’ll see after mudik moment. Jelek amat sih doanya? Bukan ngedoain jelek yak, ini namanya prediksi.

Berkaca dari Italia setelah terjadi eksodus besar-besaran dari kota episentrum pandemic, dengan niat menyelamatkan diri, yang terjadi malah menularkan virus kemana-mana ke kota tujuan. Hasilnya? Itali pernah menyentuh angka kematiannya hampir 1000 perhari. Per hari ya gaees, dan itu negara jumlah penduduknya gak selisih dengan provinsi Jawa Barat. Duh merinding aku tuh. Bisa klik disini ya beritanya.

Amerika? Negara yang mengaku sebagai negara adidaya ini juga kewalahan mengahadapi pandemic covid19 ini. Bahkan dua pekan lalu warga New York dihebohkan dengan keberadaan bau menyengat dari kontainer yang diparkir di tepi jalan. Dan setelah di periksa, uulaalaa isinya jenazah covid19, puluhan gaeesss, membusuk hingga berair. Bisa dilihat disini

Landaikan kurvanya….

Jangankan ngurus yang mati, ngurus yang hidup aja susah, sudah kehabisan tenaga. Kasihan tenaga medis kita, jauh dari keluarga, taruhannya nyawa, didalam baju hazard yg panas, sumuk, lelah, umpek. Dan itu gak cuma sehari dua hari, tapi sudah memasuki bulan ketiga. Sementara kita pake masker kalo keluar rumah aja ngeluhnya sudah kayak apaan. Duuh…

Kenapa harus melandaikan kurvanya?

Garis putus adalah kapasitas fasilitas kesehatan kita. Jumlah pasien dibawag garis putus artinya mampu dicover faskes. Diatasnya? ?

Karena fasilitas kesehatan itu terbatas, ketika terjadi lonjakan penderita dalam SATU WAKTU, yang terjadi adalah tidak semua bahkan akan ada banyak pasien yang tak tertangani (lihat kurva merah). Otomatis angka kematian akan tinggi.

Tapi jika kita mau bersabar, menundukkan ego, jika tidak perlu banget gak usah keluar rumah, sudahlah hari raya tak harus baju baru, tak harus ngemall, sabar pakai masker, sabar jaga kebersihan, sabar di rumah aja.

Harapannya mereka yang memang harus keluar rumah terlindung oleh kita yang masih bisa di rumah aja. Bukankah kita harus banyak bersyukur bisa memilih untuk di rumah aja, sementara ada banyak saudara kita yang tidak punya pilihan untuk itu?.

Sehingga yang terjadi adalah kurva biru, tidak ada ledakan penderita, jumlah pasien masih tertampung oleh faskes, angka kematian bisa ditekan seminimal mungkin.

Aah kalo sudah waktunya mati ya mati aja, sudah takdir tahu. Gak usah dibesar-besarin.

Iiih pinter amat sih kamyu, jika datang waktunya maka tak ada seorangpun yang bisa memajukan atau mengakhirkannya (Qs. Al-A’raf 7: 34). Itu adalah nash Allah Ta’ala. Dijelaskan oleh ustadz Adi Hidayat, ajal adalah ketetapan Allah, umur adalah ranah kita berikhtiar, berdoa, bertawakkal, berusaha sebaik mungkin yang kita bisa.

Dalam hal ini tentunya kita berusaha agar kematian kita selain husnul khotimah juga agar tidak “merepotkan” (baca: SOP pemulasaran jenazah covid19 tuh butuh tenaga dan biaya yang tidak murah gaees).

Tapi jika memang takdir kita mati dengan perantara covid19, maka ikhtiar kita adalah bentuk ibadah kepadaNya.

Kalo kata bintang emon ketika membahas pentingnya #stayathome, #socialdistancing, dalam penanganan #covid19, menjawab pertanyaan soal kematian: loe mau mati ya mati aja, gue gak papa, asal jenazah loe menguap, jadi gak ngerepotin dan nularin yang lain.

Nah lho…

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


− two = 6