Bagaimana cara memulai Homeschooling? searching diinternet dan hasilnya banyak sekali. Kali ini aku hanya ingin bercerita pengalaman pribadiku saja, bagaimana aku memulai berHSria.
“Ma, anak-anak kita kelak nggak usah disekolahin aja ya?!”
WHAADDDD!!! (qolqolah kubro pokoknya, gak pake T lagi, tapi DDDD saking kagetnya)
Hari gini nggak sekolah? apa kata dunia? ibuku yang SD saja tidak lulus bekerja keras, berdoa siang-malam supaya aku bisa mendapat pendidikan terbaik, bisa kuliah, biar nggak bodoh seperti ibu kata beliau. Lha ini??
Tepat di usia Liv yang ke 2 tahun, kami menginjakkan kaki lagi di bumi pertiwi setelah beberapa bulan mengais rejeki di negri jiran. Banyak pengalaman kami dapat dari sana, diantaranya kata suamiku, kemampuan kita orang Indonesia nggak kalah dengan orang asing, bahkan dalam hal tertentu kita lebih unggul. Dan ternyata yang terpenting itu bukan kamu lulusan mana? IPKmu berapa? apalagi SD sampai SMUmu dimana?. Yang terpenting itu kamu bisa apa dan attitude yang bagus. Mereka lebih percaya dengan portofolio daripada ijasah. Itu kalo memang maunya kerja di perusahaan orang, apalagi kalo maunya berwirausaha sendiri, serentetan ijasah dan nilai itu mau ditunjukkan ke siapa coba?? 😀
Itulah argumen mas dhanank, lengkap dengan fakta-fakta yang tidak bisa lagi kubantah. Emang iya, aku sendiri sangat mengakuri carut-marutnya pendidikan disini. Tapi kalo sampe nggak sekolah?? aduhh enggk dehhh..
Anak-anak memang tidak sekolah, tapi anak-anak tetap harus belajar katanya, bagaimana caranya?? Masak iya aku harus menjadi guru untuk semua mata pelajaran? masak iya aku harus memborong semua fasilitas sekolah ke rumah? Aku nggak bisa mengajarkan semua itu sendiri belum lagi kalo adek-adeknya Liv lahir.
Sudah kamu cari tahu dulu tentang Homeschooling, setahun lagi putuskan lanjut atau tidak.
Selama setahun aku aktif mencari beragam artikel diinternet, membeli buku tentang Homeschooling, mengikuti seminar Homeschooling (Dan disini aku bertemu dengan Bu Yayah Berkemas, mbak Lala, Pak Aar, Bu Ines, Mbak Wiwid dan teman-teman lainnya). Saya banyak mendapat ilmu dari mereka, ngobrolpun berlanjut online (fb, milis) yang otomatis semakin bertambahlah teman-teman “senasib seperjuangan”, bahkan sekarang teman-teman sering mengadakan seminar online sehingga dibelahan bumi manapun bisa ikut acara ini. Asyik kan?
Yang membuatku kagum adalah para orang tua HS-er ini sangat aktif belajar, suka berbagi ilmu, tidak malu bertanya, sangat proaktif. Dan saya bisa merasakan sendiri hawanya. Bagaimana tidak? keluarga HS-er bertanggung jawab penuh atas pendidikan putra-putrinya. tidak bisa menunjuk hidung sekolah, guru, pergaulan teman atas hasil didikannya.
Akhirnya saya putuskan “OK, anak-anak gak usah sekolah, kita HS”. Tantangan berikutnya datang dari keluarga besar, kenapa gak sekolah? jangan main-main lho ini menyangkut masa depan anak, de el el. Setelah itu tantangan berikutnya dari lingkungan sekitar, entah sudah berapa kali Liv pulang dengan berurai airmata karena diejek gak sekolah sama teman-temannya dan pernah juga mengadu disuruh ortu temannya sekolah, nanti kalo gak sekolah jadi anak bodoh dan gak punya teman. #hadewwhh. Ada yang bilang HS itu kan masih coba-coba, apa rela anaknya jadi percobaan? dijawab oleh suami: “Siapa yang berani jamin sekolah tidak melakukan ujicoba kurikulum ke anak?”, dan seterusnya dan seterusnya.
Setelah itu, tantangan terbesar justru datang dari diri sendir, saya sering emosi ketika didebat orang-orang sekitar tentang HS, tapi Alhamdulillah sekarang saya sudah tahu cara mengatasinya, gak usah emosi, senyum, dengarkan saja, dan tunjukkan kita dan anak-anak kita bisa lebih baik dengan jalan yang kami pilih. Tantangan terbesar kedua adalah saya jadi kemaruk pengen ngajarin semua-mua ke anak (waktu itu masih dua, Liv dan Tangguh yang masih bayi), saya donlod banyak video, belajar ini-itu, kalo pergi kemana saya sibuk njelasin ini apa, itu untuk apa, dan kayaknya malah bikin males yang ndengerin, hasilnya bleeng.
Akhirnya, saya cooling down, sempat 5 bulanan gak belajar sama sekali, saya biarkan saja mangalir sesuka Liv, kami hanya bermain bersama. Tapi dari situ saya tahu, saya lebih kenal emosi dan minat anak saya. Dan sekarang setelah beranak empat, WOW.. benar-benar jauh dari gambaran sempurna HS dulu yang saya bayangin. Tapi entah kenapa, saya, suami dan anak-anak leih rileks dan enjoy menjalaninya. Suatu saat saya ingin nulis tentang HS nyambi momong 4 anak dirumah. Stay tuned.. #halah
So, HS itu bukan berarti kita (ortu) harus menjadi guru semua mata pelajaran,
HS itu juga bukan memindahkan sekolah ke rumah,
HS itu bukan berarti kita memaksakan apa yang kita inginkan (anak jadi apa) ,
HS itu belajar… apa saja, kapan saja, dari siapa saja (yang ahli dibidangnya),
HS itu indah karena belajar dan menggeluti apa yang kita cintai,
salam kenal Mba..
postingnya keren banget mba…xixixi..
aku juga sedang melakukan HS sebagai pemula
anakku baru 1 tapi hehehe.. 4thn 3bln umurnya
ijin untuk baca2 terus ya
makasih mba..
salaam kenal mbak maria, senangnya bisa ketemu “temanseperjuangan”, bagi- bagi pengalamannya juga ya mbak… 🙂
saya dan anak juga memutuskan hs. memulai dengan cara yang sama. senang membaca artikelnya.
“HS itu bukan berarti kita (ortu) harus menjadi guru semua mata pelajaran,
HS itu juga bukan memindahkan sekolah ke rumah,
HS itu bukan berarti kita memaksakan apa yang kita inginkan (anak jadi apa) ,
HS itu belajar… apa saja, kapan saja, dari siapa saja (yang ahli dibidangnya),
HS itu indah karena belajar dan menggeluti apa yang kita cintai”.
ORTU itu guru yang mungkin tidak lebih pintar dari anak..dalam hal materi pelajarannya – berhubung anak saya belajar materi SMA – menjadi guru itu bisa dengan memotivasi – menginspirasi – kalau perlu menggubrak gubrak supaya anak belajar…hehe.
Wow, tulisan jadul tapi berasa aptudet.. keren MakBlu, udah mikirin HS sedari bocah masih batita…