//
you're reading...
Home Education, Uncategorized

Maunya Inspirasi Koq Intimidasi

Pernah ngalamin nggak, ikut sedih, ikut senang, bahkan gerah, iriii banget, bahkan minder ketika membaca status kawan?. Ada yang berceritakan kabar kesuksesannya, atau kegiatan hariannya atau lagi foto-foto dimana atau lagi makan apa, atau bahkan  baru rencana mau ngapain. Ada yang curhat, selfie,  saling berkabar ria, sharing berita, sharing ilmu. Yaa begitulah, manusia…

Yang menjadi guru bercerita tentang murid-muridnya, yang menjadi pengusaha bercerita tentang aset dan usahanya, yang ibu rumah tangga bercerita tentang pengabdiannya, yang anaknya sekolah bercerita nilai anaknya, yang homeschooling apalagi, wowww gak ada habisnya kegiatan anak-anak di foto dan dikupas *nunjuk gigi 😀 .

Salah? ya nggak juga siih… sah-sah saja koq ketika kita menceritakan sesuatu selama bukan fitnah, merugikan orang lain atau punya maksud jelek lain. Apalagi jika apa yang kita tulis bisa diambil manfaatnya buat orang lain, bisa menambah pundi-pundi celengan amal kita kelak dihadapanNYA, amiin ya RABB.

www.inc.com

 

It’s social media we are talking about, tempat orang berbagi tentang banyak hal. Social media bisa jadi kawan yang ramah buat kita, bisa jadi sekolah, bisa jadi ajang berkenalan dengan orang-orang hebat, bisa menjadi tempat berbagi saling memberi-saling menerima,bisa ketemu kawan lama, bisa buat cari duit, dan lain-lainnya. Di sisi lain, ternyata menggunakan social media juga nggak bisa sembarangan, ada aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi demi kenyamanan bersama. Seperti  no pornografi, nggak sembarangan men-tag orang, nggak sembarangan upload berita, cek and ricek dulu, bahkan jika diperlukan lakukan revisi jika ternyata ada kesalahan sebelumnya. Yaa, roker juga manusia apalagi facebooker, tweeterer, instagramer, pather, google+er. iya nggak? iya nggak?.

Balik lagi, judulnya “Maunya Isnpirasi Koq Intimidasi”. Ini kisah nyata lho ya, saya nggak nunjuk kemana-mana, nunjuk hidung sendiri saja. Sebuah kisah awal saya menjalankan fungsi sebagai ibu homeschooler, sekarang juga kadang masih sih, hehehe. Jadi ceritanya begini, ketika memutuskan anak homeschooling itu kadang, seringnya merasa anakku koq “nggak ngapa-ngapin” sih. Sementara kalau melihat anak tetangga sibuk tiap pagi sampai siang sekolah bahkan ada yang full day, setelah itu sorenya ngaji, malamnya ada yang les ada yang ngerjain PR.

Anak kita? bangun tidur malas-malasan, meski akhirnya kewajiban dijalankan juga,  trus mau apalagi ya? Apa coba yang ada dipikiran anak-anak ketika tidak ada “pekerjaan” apa-apa? MAIIIIINNN, masih mending kalau main, kalau nonton melulu,, main game melulu. aarrgghhh. Kitanya sebagai ibu kadang jadi ngenes ngapain lagi ya? apa yang bikin anakku senang dan bermanfaat? masak iya main lagi.. main lagi.. masak iya belajar berhitung lagi.. berhitung lagi… apalagi kalau anaknya nggak suka belajar berhitung. Ya sudah kita belajar sains, aduh sains yang mana ya buat anak usia segini? Gimana ya caranya biar menarik? dan seterusnya… seterusnya…

Ditambah lagi, kata orang anak itu biasanya lebih nurut kalau diajarin orang lain (baca: guru), kalau diajarin emaknya sendiri sih lebih banyak protesnya, banyak nggak nurutnya, banyak menawarnya, “entar aja ya ma, dikit aja, anu dulu”. Kan bikin kitanya gimana gitu.

Hahahay, ya begitulah, kehidupan homeschooling tak selalu mulus dan seindah yang diceritakan. Kalau cerita susahnya doang, bikin makin males orang dengan homeschooling, padahal homeschooling itu bagus lho bu ibu. *Ganti kostum jadi bakul jamu dulu. Pendidikan berbasis rumah, mencetak generasi dari nilai-nilai kearifan yang ada di rumah. Nah, kalau di rumahnya belum arif gimana dong? ya cari pak Arif di Puskesmas dulu, wakakkakk. That’s the good, oh what i’m saying,  that’s the best point of homeschooling, “rising children is about rising yourself”.

Ketika mengajarkan anak rajin sholat, ngaca doong emak-bapaknya sudah rajin belum sholatnya?. Ketika mengajarkan jujur, emak-bapaknya suka bohong nggak?. Meski tidak selalu begitu, misal si anak pengen menari, emak-bapaknya nggak perlu ikutan nari juga, roboh entar panggungnya 😀 . Si anak pengen belajar coding, emak-bapaknya juga nggak harus ikutan belajar coding, dapur bakalan sepi, meja makan  kosong melompong, dan nyanyian “mama laper” berkumandang. Dalam hal-hal yang prinsip, orang tua adalah teladan terbaik.

Hal terbaik berikutnya adalah, homeschooling itu unik, seunik tiap tipe dan jenis keluarga. Jadi kalau ada yang tanya, koq homeschooling temanku kayak gini, kamu koq kayak anu. Santai aja bu, homeschooling itu bhinneka Tunggal Ika,masih ingat artinya kan? lama banget ya nggak dengar kalimat ini.

Sebenarnya sih nggak jauh beda dengan yang memilih jalur pendidikan formal, pasti punya suka dan dukanya. Tapi ya itulah pilihan, we take the benefit we take the risk. Selama memilih dengan kesadaran penuh, go on ajalah. Teman-teman yang memilih jalur pendidikan formal, jangan ada yang tersinggung yak?. Namanya juga pilihan, tentu kita memilih apa yang kita yakini sebagai terbaik bukan?. Semua kecap nomor satu 😉 😉

Nah, disinilah salah satu manfaat media social terutama buat kami (eh, saya) sebagai homeschooler. Berkenalan dengan puluhan, insyaaALLAH tak lama lagi ratusan kaluarga homeschooling itu WOW banget. Saling berbagi cerita, tips dan trik, info-info penting, saling menguatkan hingga kopdaran bahkan membuat komunitas itu luar biasa.Saya pribadi belajar banyak dari komunitas, nggak hanya melulu soal materi belajar anak, tapi juga meteri belajar buat kita. Belajar banyak dari ibu-ibu homeschooler lain, kemandiriannya, semangat belajarnya, kreativitasnya, suka berbaginya, how lovely. Dan sayapun beranikan diri untuk lebih mandiri, nggak sedikit-sedikit antar dong pa, tolongin ini dong pa, besok ada ini papa ada waktu kan?. Kapan kerjanya kalau nurutin permintaan istrinya melulu?.  Tapi tetep family time harus selalu mendapat porsi yang cukup, tak ada yang bisa menggantikamu papa .

Perasaan “aku tak sendiri lagi” itu penting lho, terutama buat anak. Ini pengalaman pribadi, Liv sering minder jika teman-teman di rumah bercerita tentang sekolah dan teman-temannya. Sementara dia saat itu jumlah temannya tak sebanyak teman-teman yang lain. Suatu hari Liv bertanya, “Mama, gimana ya caranya supaya aku punya seribu teman kayak mama”. Baru ngeh si anak baca facebook mama dan daftar temannya lebih dari seribu. Bahkan dia membuat daftar teman plus jenis pertemanannya, misal teman nari, teman aikido, teman rumah, teman anak teman papa. Jika dulu Liv menyebut pendidikannya dengan kelas ketika ditanya orang, sekarang dia bisa dengan bangga menyebut dirinya homeschooler.

Ini sisi baiknya, tapi dasar manusia, sudah dienakin kayak gini masih aja kurang enak, masih aja bikin masalah. Hati ooh hati,setelah bersyukur punya banyak teman dan banyak info masalah lain menunggu. “Aduuh, banyak banget yang belum aku lakuin”, “aku belum jadi ibu yang baik nih”, “susahnya jadi ortu ideal”, “mulainya dari mana ya?”, “beratnya jadi anak dan ortu jaman sekarang”, “mana yang ilmu parenting yang paling bagus”. *habis baca artikel parenting atau ikut seminar parenting, habis baca bukunya juga (hush, ini cerita pribadi 😉 ).

Nah buat yang homeschooling, aku tambahin ya, lebih dramatis lagi. Habis baca status teman tentang prestasi anaknya, yang upload foto belajar dengan anaknya, lagi pergi ke museum mana, bikin percobaan dengan anak, masak-masak bareng anak sudah sangat lebih dari cukup membuat kita (eh, saya ding) minder. “Koq HSku gini-gini aja”, ”aku belum nyampek situ”, “kasihan anak-anakku”, “aku belum bisa jadi guru yang baik”, “kalau gitu aku butuh resources yang lebih, tenaga, uang, pikiran, belajar lagi-belajar lagi” yang ujung-ujungnya “aku nggak mampu homeschooling“. Eh ada lagi “anak si dia umur 7 tahun sudah bisa ini-itu, anakku?”. Nah lho, nggak jauh beda sama yang sekolah kan?. Tantangannya tetap sama kalau sudah berhubungan dengan naluri emakiyah (naluri keibuan maksudnya 😉 ). “Apa? kamu dapat 7, si X aja dapat 9, ngapain aja sih kamu?”.

Padahal nih, yang sebenarnya terjadi, teman-teman upload kegiatan homeschoolingnya itu sebagai bentuk sayang kepada kita, sebagai bentuk keinginan untuk berbagi. Ini lho hal sederhana yang bisa dilakukan di rumah buat anak-anak, nggak perlu ongkos, dengan bahan seadanya, murah, adek-adeknya juga ikut senang, bagus untuk motorik halus dan kasar misalnya. Ketika ada teman yang jalan-jalan ke museum, taman, atau bandara, stasiun, harusnya kitanya “oh iya. aku bisa ngajarin anakku tentang ini disitu”, entertainment plus education. Nggak ada ceritanya “nih gue lebih baik homeschoolingnya daripada lu”. Dan jika ada perasaan seperti itu dihati kita, buang jauh-jauh deh, ke laut ajee.

http://www.mariannesunderland.com

 

Apakah semua ide itu harus dieksekusi sekarang juga? Nggak juga, bisa kapanpun sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan orang tua. Bahkan ketika tidak dijalankanpun tak mengapa jika memang tidak dibutuhkan atau ada pilihan lain yang lebih baik.

Toh setiap anak itu unik, satu cara bisa bekerja di satu anak, belum tentu cocok di anak yang lain. Contoh sederhananya, teman-teman sekitar rumahnya Liv sudah belajar pecahan, suatu malam menjelang tidur dia bilang “Ma, pecahan itu apa sih ma? aku mau belajar pecahan juga, jadi kalau main tebak-tebakan aku bisa jawab”. Aku bilang kalau mau belajar pecahan ya harus belajar pembagian dulu. Kesokan paginya, emaknya ini sudah mempersiapkan alat peraga, kertas koran diuntel-untel sebesar jempol sebanyak dua puluhan. Eeh, ketika diajak belajar dia bilang, “Nggak usah pake begituan (koran yang diuntel-untel) aku tahu koq pembagian, mama kasih pertanyaan aja deh”. Masak sih, seumur-umur belum pernah ngajarin pembagian. “Iya, sama kayak kalau papa beli donat terus harus dibagi sama buat aku sama adek-adek, gitu kan?” 😀 .

Pintar memilih dan memilah, mana kebutuhan, mana prioritasnya, kapan pelaksanaannya, bagaiman dengan dananya, bagaimana dengan mobilitasnya, dan lain-lain yang setiap keluarga punya tantangan tersendiri. Mendiskusikan dengan suami adalah jalan terbaik, take the benefits together, so do the risks.

Jadi, jadikan semua itu inspirasi untuk mengisi hati dan pikiran kita, bukan malah sebagai intimidasi yang menjadi rantai berat buat langkah-langkah kita. Pastinya, penyakit hati itu nggak melulu iri benci, hasad, buruk sangka, bahkan ketika kita minder dan rendah hati itu juga merupakan penyakit hati. Entar gagal move on lu, apa kata dunia 😉

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya illahi (Aa’ Gym)

 

* my note, it was.

 

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


× 7 = fifty six