//
you're reading...
Uncategorized

Ayah Si Yatim

Alkisah seorang gadis kecil di suatu kampung nun jauh di sana. Merah rambutnya, kurus badannya, hitam kulitnya terbakar matahari. Maklum anak kelahiran 80an, mainnya di sawah, tambak, sungai, main daun, tanah, lumpur, ngejar capung, makan besusul alias tutut. Ngalam banget pokoknya…

Tak ada komputer, apalagi gadget di rumah, acara TVpun hanya hari ahad yang ditunggu, hari anak sedunia karena ada si unyil dan ria jenaka. Sisanya berpuas-puaslah dengan klompen capir dan aneka acara yang belum bisa dicerna bocah. “ngomong opo to kuwi?”.

Eeits, tapi selalu ada dua atau banyak sisi dalam satu hal, jaman itu orang tua tak parno dengan pornografi, tak ada penculikan, narkobapun seperti hanya mimpi yang tak berarti buat orang kampung.  what a wonderfull of life.

Dan hari gini,  lihat saja mereka yang tinggal di perkotaan berani bayar mahal agar anak-anak mereka bisa meresakan apa yang dirasakan anak tahun 80an ke bawah.

Balik lagi ke cerita si gadis hitam (manis l????), qadarullah aba si gadis di panggil Allah Ta’ala, di saat si gadis sedang butuh gelendotan, pelukan dan pujian ringan dari sang aba. Didahului sakit yang membuat tubuh sang aba makin lemah selama 2 tahun.

Seperti apa sosok ayah? aku tak tahu, jawab si gadis datar, dipendamnya dalam-dalam rasa rindu tak jelas itu. Abaku tak seperti ayah-ayah yang lain, mereka ada yang jadi petani, pedagang, mantri, lurah, guru. Abaku? aku ingat bau karbol rumah sakit, gigitan nyamuk di sana, dan wajah sedih ibuku.

Eeh, tapi aku ingat aba pernah memboncengku naik vespanya keliling kampung, dan mandi di kali. Indaah… dan tak kan aku lupa. Tiba-tiba wajah si gadis merona, bagai remaja dilanda asmara, bahagianya… Cukuplah kenangan itu mengisi kepalanya tahun demi tahun.

Hari ini, di depan kelas si gadis menunggu kehadirannya, sosok laki-laki kekar bak super hero, hari penerimaan raport kenaikan kelas. Berharap seperti teman-temannya. Berharap ketika namanya disebut, sosok laki-laki itu berjalan tegap ke meja guru, kemudian tersenyum bangga padanya.  Setiap penerimaan raport, setiap tahun ditunggunya, sebaik apapun prestasinya, seberapa besar pujian dari sang guru, seberapa banyak orang tua temannya kagum pada gadis kecil ini, laki-laki itu tiada datang, takkan pernah datang. Dan ada yang hampa di sana…

Berat bagi si gadis, dipendamnya rindu akan sosok itu, laki-laki dengan bahu kokoh tempat menangis kala diganggu temannya, laki-laki tempat meminta mainan seperti mainan temannya, laki-laki yang ingin dengan bangganya ditunjukkan segenap prestasinya. Laki-laki itu kini hanya seperti pangeran tampan berkuda di negeri dongeng, tak jelas, tak nyata, hanya ilusi basi.

Mendamba meski sadar takkan berjumpa.
——————-

Didengarnya suara dengan nada berat memanggilnya, sosok laki-laki lain, badannya ceking tapi senyumnya manis. Terlihat bangga dengan si gadis kecil.

Bermain bersama, belajar bersama, aah… aku jatuh cinta, bisik hati gadis kecil.
Meski tidak sekeren aba, tidak sesabar aba,  tapi… matanya seperti mata aba. Cara menatapnya, senyumnya, aah bagaimana ada orang begitu mirip denganmu aba. Aah… ada rasa aman disana, ada rasa tak sendiri disana, ada kamu… cihuuyyy…

Dialah yang datang di hari penerimaan raportku, menggandengku dengan bangga, membawakan aku dan teman-teman cemilan. Cukulah dia jadi idola kami…

Dialah yang rela menempuh jarak ratusan kilometer menjengukku di saat aku demam.

Dialah yang mengajariku banyak hal, dialah yang aku pamerkan ke teman-temanku dan jadi idola kami semua.

Yaa… aku punya aba, meski masih berstatus mahasiswa, aku punya aba meski berstatus lajang. Dan aku bahagia…

Abaku lebih keren dibanding ayah teman-temanku. Abaku bisa diajak manjat pohon kersen, abaku bisa main tebak-tebakan, abaku tiap pulang dari rantau membawakanku coklat, makanan langkah dan mahal waktu itu plus sukses membuatku mencret tiap kali memakannya. Duuhh perut, engkau lebih memilih sambel terasi daripada coklat rupanya…..

Tersenyum si gadis mengingatnya. Lembaran-lembaran cinta yang berbunga-bunga mengisi relung kalbunya. Menjadi sebuah imaji positif, merasuk ke alam bawah sadar dan menjadi dominan di otaknya. Yang diluar kendalinya menjadikan “sang Aba baru” sebagai idola, sebagai figur hidupnya.

Dan ketika saat itu tiba, saat hormon-hormon kedewasaan memainkan perannya. Dimana tubuhnya mulai meninggi, hitam kulitnya berganti coklat yang beneran manis.

Tubuh yang awalnya kurus lebih berisi, dengan segala perhiasan karunia ilahi sebagai lambang siap bereproduksi. Tubuhnya telah mencapai balighnya.

Ibarat bunga sedang mekar, ibarat masakan fresh from the oven, ibarat krl yang ditunggu-tunggu kedatangannya di peak hour. Kumbang-kumbangpun mulai cepe-cepe, curi pandang-curi perhatian, berharap bisa memetik bunga, bisa incip wanginya kue, bisa dapat tempat duduk nyaman di krl.

Alam bawah sadarnya bilang, aku hanya akan mencari kumbang yang matanya seperti mata dia “sang aba baruku”.
Aku hanya akan mencari kumbang yang melihatku seperti cara dia “sang aba baruku melihatku.

Ditatapnya mata kumbang-kumbang jantan itu, mereka datang dengan  kata semanis madu, janji yang bikin gak kuku, rayuan yang melebihi gombal amoh di pawon.

Tiba-tiba perutnya mual, eneg dengan segala bujuk rayu para kumbang. Semakin merayu semakin mumet kepalanya.

Yang dilihatnya hanya mata yang penuh nafsu, mata yang haus penaklukan. Sementara yang ditunggu si gadis adalah pemilik mata itu, menjaganya, memuliakannya.

Tak perlulah aku terburu-buru, karena suatu saat nanti Rabbku akan akan memilihkan aku kepada bahu siapa aku bersandar, kepada si pemilik mata itu.
——————

Bahkan “sang aba baru” tak pernah tahu, begitu besar jasanya. Memberi pahatan indah di hati si yatim, menjadi bingkai indah rajutan masa depannya.

Maka jadilah “ayah si yatim”, senyummu, kebaikanmu, pesonamu bisa jadi wasilah keselamatannya dimasa mendatang.
?
Oleh-oleh dari
#kajiandhuha
#majeliskeluarga  #seripendidikanberbasisfitrahke9
#pentingnya figur ayah

*Untuk kedua cacakku (abang-orang jawa timur) jazakumallah khoir wa kastir. Takkan mampu ku membayar setiap pahatan indah di hatiku.
**kenapa jadi cerpen ringkasan kajiannya? ish..ish..ish..

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


× 7 = seven