//
you're reading...
Ibu dan Anak

Tangguhku Terlambat Bicara (1)

“Hey, aku Angga kamu siapa?” seorang anak balita bertanya pada Tangguh. Yang ditanya hanya diam membisu, mulutnya dimonyong-monyonhkan seolah ingin menjawab pertanyaan temannya tapi tak ada satupun kata yang keluar. Aku yang mengawasinya dari jauh tak kuasa menahan air mata.

Suatu malam, entah kenapa sejak sore Tangguh sangat sensitif, semua-mua tidak ada yang benar dan cocok untuknya. Semua terkena imbasnya,berbagai cara kami coba termasuk aku bawa ke kamar dan memeluknya erat, just the two of us (biasanya cara seperti ini manjur) tapi kali ini gatot alias gagal total. Ketika aku sudah kewalahan dengan energinya yang besar, papapun turun tangan. Dipeluknya erat Tangguh dan ditanya “Tangguh kenapa? capek? sakit? semua sayang Tangguh”. Aaahh seperti biasa ucapan papa adalah sabdo pandito ratu, Tangguh mulai tenang, diberi minum dan tetap dipeluk papa. Sejurus kemudian terdengar bunyi suaranya yang serak dan besar “auuuhhh..auhh” sambil memasukkan jarinya ke mulut “oeekk..ooeekkk” seolah dia ingin sekali mengungkapkan isi hatinya tapi tak satupun keluar dari mulutnya. Lagi-lagi air mataku tak terbendung, ribuan doa kuhaturkan padaNYA untuk Tangguhku.

Pernah dia tiba-tiba bilang “atutt” ketika mendengar petasan, atau “bika” menirukan membaca doa mau tidur, dan setelah itu tidak pernah mau ngulanginya lagi. Dan beberapa kata seperti “main”, “no no no”, tapi seperti biasa, tak pernah mau mengulangi lagi. Sungguh aku dibuat bingung dengan kondisi anakku ini. Rasa-rasanya tidak kurang stimulus yang kami berikan, semua orang di rumah apalagi kakaknya dan aku termasuk perempuan bawel yang ngomoong terus. Hampir tiap malam setelah isya’ (benar-benar kami sengajakan waktu itu) kami (saya dan keempat anakku) bermain macam-macam dikamar yang sudah kami desain untuk arena bermain mereka. Di kamar itu semua lantai tertutup kasur, jadi mereka bebas bermain apa saja, lari-, kejar-kejaran, jungkir balik, kuda-kudaan, loncat, bahkan X2pun sangat suka dengan momen ini, Xandra sekarang tertarik ikut jungkir balik seperti dua kakaknya.

Banyak nasehat yang kudapat dari orang tua, teman mulai dari mengerok lidahnya, beri stimulus terus, bawa ke psikolog sampai ikutkan terapi bicara. Mau diikutkan terapi bicara, takut Tangguh bereaksi negatif. Tidak mudah melunakkan hatinya apalagi kalo masih baru kenal. Bisa nggak ya, aku melakukan terapi bicara itu di rumah? Akupun mencari ilmunya di internet mulai dari speech delayed sampai how to do speech therapy at home. Aku takut keterlambatan bicaranya akan berpengaruh pada emosinya. Awalnya aku sangat fokus pada keterlambatan bicaranya saja. Beragam bacaan tentang speech delayed aku makan. Lambat laun aku menyadari “masalah” Tangguh tidak hanya soal keterambatan bicaranya saja.

Setelah kuingat-ingat, tumbuh kembangnya mulai kacau ketika saya tengah hamil X2 (1,5 tahun). Saat itu aku tidak begitu memperhatikan perubahan perkembangan Tangguh karena hamil yang berat dan nggak punya ilmunya juga.  1,5 tahun sebelumnya perkembangannya masih normal dan sempat kutulis disini. Perubahan pada diri Tangguh aku anggap sebagai bentuk mencari perhatian yang biasa dilakukan kakak yang baru mempunyai adek baru, apalagi ini ada dua adeknya :D, sehingga Tangguh aku beri porsi waktu tersendiri untuk memenuhi “kebutuhannya”, terutama ketika malam hari (Tangguh tidurnya larut malam, dan sekali-dua kali masih bangun lagi tengah malamnya).

Bude yang momong bilang, kalo Tangguh lari seperti terbang, kakinya tidak menapak di tanah (maksudnya tumitnya tidak sampai menempel di tanah, hanya ujung-ujung jarinya saja trus wusshhh ). Sampai di usianya yang ke dua Tangguh tidak mau memakai sandal, hanya sepatu yang itu-itu juga. Suatu hari papanya membelikan sandal dari beludru, lembut, empuk dan ergonomis sekali. Ahamdulillah Tangguh mau memakainya, dan larinya yang seperti terbang itu bisa dikendalikan karena memakai sandal beda dengan memakai sepatu. Memakai sandal harus disertai usaha menjapit sendal agar sendal tidak lepas. Sampai-sampai papanya nyeplos “anak pinter, tahu barang mahal”. 😀

Dan yang paling menakutkanku adalah fokusnya yang terlau berebihan jika melihat tontonan yang digemarinya matanya ditempelkan di monitor, dan telinganya seolah tertutup tidak akan mendengar suara panggilan apapun. Anehnya, bahkan ketika tidur, ada suara pesawat lewat (kebetulan rumah di depok sering banget ada pesawat dan helikopter lewat, mungkin karena dekat dengan sekolah penerbangan curug) dia langsung keluar rumah dan teriak “Gaaaaaa” (yang dia tahu pertama kali adalah pesawat Garuda Indonesia plus lagunya).

Setiap hari hobinya bermain air di kamar mandi padahal dia tidak tahan air dingin. Penasaran, saya suka mengintip apa yang dilakukannya di kamar mandi? Tangguhku menuang air dari botol kecil ke botol besar beberapa kali hingga botol besar penuh, begitu berulang-ulang selama beberapa hari. Di hari yang  lain mainan air di bak, naik-turun bak bolak-balik. Pernah suatu ketika Liv membawa dot yang sudah usang ke kamar mandi, Tangguh senang sekali, mainan air tuang-tumpahin dari jam setengah 4 sore sampai menjelang maghrib, dibujuk-bujuk keluar tidak mau. Suatu ketika aku mencarinya karena tidak menemukan di penjuru rumah, akhirnya kami mencari di luar rumah, tanya ke tetangga dan tiba-tiba budenya teriak “Dek, Tangguh tidur dikamar mandi”. Astaghfirullah..kami sama sekali tidak menyangka dia ada di kamar mandi karena tidak ada suara gemericik air, tahunya ketiduran dengan badan disandarkan di bak mandi.

Hujan turun adalah momen yang sangat menyenangkan buatnya (herannya ketika main dan hujan turun dia tidak berminat untuk hujan-hujanan, malah lari ke rumah), sambil berdiam diri dibalik pagar mengamati tetes -tetes air  yang jatuh di jalan, memperhatikan genangan air. Bahkan suatu ketika Tangguh mengincipi air hujan yang jatur dari belahan pagar yang satu ke pagar yang lain.  Dan…  besoknya Tangguh diare.

Inderanya sangat sensitif, dulu dia tidak suka suara berisik, kalo ada tamu lebih memilih bermain di kamar (Alhamdulillah, untuk yang ini sekarang sudah kebal, mungkin karena 4 perempuan disekelilingnya bawel-bawel :P),  pengecapnya sangat sensitif (dia hanya mau makan tak lebih dari dua jenis makanan dalam piring, tak mau satu jenis sayurpun, bahkan sedikit warna ijo di sendoknya langsung ditampel (bingung bahasa Indonesianya) pake tangan,  padahal dulu semua-mua mau :(. Makanan lembek, buah, sayur, kolang-kalong dan sejenisnya sama sekali menjadi pantangan buatnya), Mudah sekali jijik dan huweeekkk sampai muntah beneran jika ada pemandangan yang menjijikkan versi dia. Pernah mbahbuknya yang baru tiba di Depok terheran-heran karena Tangguh muntah dihadapan beliau, dikiranya masuk angin. Usut punya usut karena mbahbuk makan salak di depan Tangguh. Saya katakan versi dia karena yang menurut kita tidak jijik (buah, bubur) menurut Tangguh menjijikkan, dan yang menurut kita menjijikkan (air got, air becek di jalan) merupakan hal sangat menyenangkan. Pernah saya terpaksa harus nungguin Tangguh tenguk-tenguk di depan selokan hampir setengah jam, airnya item, bau, mana waktu itu saya lagi hamil X2, rasanya sudah mau muntah. akhirnya saya titipkan penjual bakso disitu (yang saya kenal) saya lari ke rumah, dan minta papanya menjemput Tangguh.

Selain itu Tangguh sangat perfeksionis (belasan mobil-mobilannya disusun kadang seri kadang pararel luruuuusss sekali, dan dia akan marah sekali dan mengulanginya lagi jika ada yang rusak dari barisan mobilnya, Tangguh tidak akan membiarkan satu helai rambutpun di wajah saya ketika hendak mencium mamanya, apalagi kalo ada jerawat, ditariknya seolah-olah hendak dibuang jerawat itu, bisa nangis-nagis deh mamanya.. :D). Untungnya kalo sudah jalan beberapa hari dan masih ada bekas jerawatnya Tangguh bisa beradaptasi. Dan sekarang tidak hanya mobil-mobilannya yang disusun, kumpulan pensil-bolpen, penggaris, kardus-kardus piranti server papanya juga tak luput jadi objeknya. Dan bentuk susunannya sekarang makin bervariasi, kadang setengah lingkaran, zig-zag, anak panah, kotak.

180720131834 180720131835

 

 

 

 

 

Jangan pernah mengganggunya ketika sedang berkonsentrasi mainan susun-menyusun ini, dia bisa marah besar, apalagi ketika sudah jadi dan ada yang merusak formasinya, dibetulkannya hingga sempurna dan jika tak bisa dihancurkan formasinya.

Tidak hanya itu, sampai saat ini Mas Tangguh belum mau dan belum bisa memegang pensil (bahkan X2 saja sudah mulai bisa memegang pensil, kebayang kan kekawatiran kami…). Motorik halusnya jauh tertinggal dari anak seusianya. Masih kuingat, Liv mampu mengendalikan mouse diusianya yang kedua tahun, sementara Tangguh sampai saat ini masih sangat susah melakukannya, biarpun saya mengajarinya tiap hari.

Semakin lama aku menyadari ada yang miss disini. Fokusnya yang berlebihan seolah dia mempunyai dunia sendiri diluar dunia kami ketika sedang asyik melakukan sesuatu, kebiasaannya mengulang-ulang kegiatan (repetitif) yang merupakan salah satu tanda autisme. Keterlambatan bicaranya, emosinya yang mudah sekali meledak.

Enam bulan lalu adalah masa-masa kehawatiranku, melihat tumbuh kembang Tangguh yang tidak seperti anak-anak lainnya, tidak seperti Liv, jangan… jangan… Kata autisme, ADD/ADHD, learning Disabilities menyeruak di pikiranku. Tangguh tidak boleh terlalu fokus, tidak boleh repetitif, Tangguh harus “dipaksa” bersosialisasi. Begitulah yang ada di kepalaku. Hal ini tentunya tidak mudah. Bahkan sering berakhir dengan tangisan Tangguh yang terganggu kegiatannya, dan tak jarang juga menguras emosiku dan suami. Kami berusaha menjauhkan Tangguh dari segala kegiatannya yang membuatnya sibuk dengan dunianya sendiri. Aku selalu memanggilnya bahkan meneriakinya jika mulai asyik dengan kesibukannya.

Suasana rumah menjadi tidak nyaman lagi, teriakan demi teriakan demi mengobati rasa takut kami akan kondisi perkembangan Tangguh berdampak pada Liv dan X2. Ini tidak boleh dibiarkan, harus dicari jalan keluarnya. Sungguh enam bulan lalu adalah masa kelabu semuanya serba abu-abu, ingin cepat-cepat saya bawa ke psikolog, menerapinya bahkan mengobatinya bila perlu.  Tapi suami meyakinkanku, bahwa yang paham betul kondisi anak-anak kami adalah kami sendiri terutama aku karena aku adalah ibu mereka. Dokter, psikolog bukan Tuhan, mereka manusia juga sama dengan sysadmin (pinjem istilahnya suami) dalam mendiagnosis mereke juga mengira-ngira berdasarkan ilmu mereka. Bedanya dokter dan psikolog “mbenerin” manusia sementara sysadmin mbenerin server.  Dan tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan diagnosa, yang tentunya akan berakibat fatal. Maka sebagai ibu, aku tidak boleh tangan kosong ketika membawa anak ke dokter atau psikolog, saya harus tahu ilmunya juga, paling tidak saya bisa bertanya ini-itu sebagai pembanding diagnosa.

Bagaimana selanjutnya? insyaaALLAH ba’da idul fitri lanjutannya..

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


seven − 3 =