//
you're reading...
Home Education

Ijasah dan Eselbe

Ada yang curhat,
“Eselbe itu apa sih ma?”
Takut missunderstanding, tanyalah saya dimana dia dapat kata itu.
“Tadi waktu main (sekitaran rumah, menyebut nama temannya) nanya, Liv kamu tuh kelas berapa sih?. Aku males jawabnya, habisnya kalo aku jawab juga gak bakal percaya, trus ngece-ngece gitu. Dia maksa, akhirnya aku jawab, aku kelas 1 smp. Eeh di bilang, bo’ong loe… bilang aja loe sekolah di eselbe karena gak diterima di sekolah sini kan?”

Deg, ini bukan yang pertama kalinya temannya tanya, dan bukan yang pertama kalinya juga dia dianggap bohong.

Semenjak persiapan menjelang ujian, untuk teman-teman dekatnya (perempuan) sekitaran rumah sudah tahu, bahwa beberapa bulan kedepan ini Liv akan fokus ke pelajaran UN. Begitu juga ketika ujian dan pengumuman kelulusan, mereka tahu dan bisa menerima, meski awalnya rasa tidak percaya itu ada. “Koq bisa sih?”. “Kan gak sekolah?”, atau “Liv kan seumuran kita?” (Waktu itu teman-temannya kelas 5 SD mau naik kelas 6 SD).

Aah, sesuatu yang wajar bagiku. Dijelaskan dan mereka mau mengerti dan menerima. Alhamdulillah…

Apalagi kalo ada orang tua yang bertanya langsung padaku, dengan senang hati akan kuceritakan semua prosesnya. Selalu ada yang bisa Aku ambil pelajaran dari mereka dan sebaliknya.  Aah, bisa ngobrol bareng orang dewasa di luar rumah di dunia nyata itu kesempatan langkah bagiku. Secara 80% waktuku ngobrol dengan krucil, selebihnya dengan suami, sedikitnya dengan penjaga warung, tukang LPG, dan tetangga.

Okey, kembali ke laptop…

Akhir-akhir ini beberapa teman lelaki (tetangga) Liv sering menanyakan statusnya. Eissh… jangan jauh-jauh mikirnya, maksudnya “loe tuh sekolah dimana dan kelas berapa sih?”. Penting banget memang buat anak-anak kepoin hal seperti ini. Apalagi tahu sendiri lah, kayak kita tempoe doeloe, sekolah dimana itu prestis, unggulan nggak? Ada rekreasinya gak? Ekskulnya? Bilingual? Fullday? dan segambreng atribut lainnya.

Salahkah? Nggak juga, normal aja koq. Yang bikin gak normal tuh kalo beda sekolah kemudian saling merendahkan, saling membully, apalagi beda pilihan sekolah dan tidak sekolah yang jauuh lebih rentan dan sensitif. Padahal tahu bener juga nggak, yang nggak sekolah ngapain aja sih? yang sekolah ngapain aja sih?

Hanya saja, kali ini tuduhannya terlalu jauh. Dan berujung merembet ke pertemanan, “gak jelas loe”, “tukang boong loe”, dan lain-lain. Meski sadar seutuhnya, bagi sebagian orang apalagi anak-anak, memahami dunia homeschooling memang tidak mudah.

Dunia dimana anak tidak sekolah tapi tetap belajar, dunia belajar dimana yang dipelajari tidak harus sama, bisa sama, ada yang berbeda bahkan sangat berbeda dengan yang dipelajari di sekolah, dunia dimana kami tetap bisa mendapat legalisasi sah (ijasah) dari pemerintah Indonesia maupun dari luar negeri meski tanpa sekolah, dunia dimana bahkan ada yang tidak peduli dengan ijasah, dunia dimana setiap kami khas dengan segala persamaan dan perbedaannya.

Apalagi masalah legalisasi (ijasah) adalah masalah yang teramat penting di dunia sekolah dan masyarakat umumnya. Terbukti ketika ada yang bertanya tentang homeschooling pertanyaan dengan rating tertinggi adalah “Trus dapat ijasahnya gimana? “. Sama kayak eike dulu juga gitu qiqiqiqi. Mumet nyari tahu soal ijasah, eeh endingnya pas mutusin homeschooling 80% pikiran dan tenaga habis buat pendidikan anak dan emak-bapaknya.

Dan sampai sekarang tuh ijasah masih ngendon belum diambil di PKBM. Sungguh terlalu kau roma. ????????

“Terima nasibmu nak, salah sendiri gak sekolah” pengen rasanya ngomong seperti itu ke anak. Seperti halnya ketika ada yang protes, koq bisa sih gak sekolah dapat ijasah, keenakan dong, kita yang susah-susah sekolah aja belum dapat (dengan usia anak yang sama) ijasah, trus kitanya ngomong “lha siapa suruh sekolah”.

Haiishh… itu mah ngajak perang namanya. Piss aah… Alhamdulilah belum pernah keluar dua kalimat itu. Karena menahan diri untuk tidak terbawa emosi dan menjawab logis (tawaa shoubil haq wa shobr) masih jauh terlihat lebih seksi bagiku. wakakka…

“Eselbe itu singkatan dari Sekolah Luar Biasa” jawabku singkat.

“Maksudnya? kayak avenger gitu?” Jiaah… jauh amat larinya.

“Itu sekolah khusus untuk anak-anak luar biasa, yang diberi keistimewaan oleh Allah, dimana untuk melakukan suatu hal mereka berjuang lebih keras dari pada kita yang normal. Anak-anak ini ada yang buta, tuli, bisu, atau gangguan mental”. Jawabku singkat, aku belajar membaca mimiknya.

“Jadi aku dianggap cacat gitu?” Emosinya keluar.

“Tidak ada yang salah dengan SLB, tidak ada yang salah dengan anak-anak yang sekolah disana. Bahkan mereka anak-anak, guru-guru dan orang tua yang luar biasa. Kakak bisa mengerti kan penjelasan mama? . Yang salah adalah tuduhan temanmu, yang menganggapmu berbohong kemudian menuduh seenaknya sendiri”.

Kulihat dia mengangguk kecil. Aaah… kutahu itu berat baginya, meski kuajarkan tak usah dihiraukan, tunjukkan saja kebaikan dan prestasimu, cukuplah itu jawaban paling joss atas semua tuduhan.

Tak bisakah kita bertanya baik-baik dulu, tanpa menuduh?

Tak bisakah kita mengumpulkan fakta dulu sebelum menjatuhkan vonis?

Jadi teringat netizen di dunia maya, setiap ada berita, komen netizen lebih hot dari beritanya. Tuduhan, cacian dan sarkasme bebas keluar dari jempol netizen sampai-sampai ada yang bilang netizen maha benar. ????

Dan malam ini kami membuat keputusan, “selepas adek-adek sehat, kita ambil ijasahmu, dan jelaskan ke teman-temanmu. Sebab membiarkan mereka berprasangka buruk juga dosa bagi kita, kakak yang sabar ya…”

Kulihat senyum manisnya yang mengingatkanku pada senyum manis seseorang. Siapa hayo? ????

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


× one = 9