//
you're reading...
Uncategorized

Bullying is for loser

Setelah dibully, korban bisa semakin inferior (minder, kalahan, tidak pede, selalu jadi korban) atau bisa jadi korban di suatu saat akan menjadi pembully. Baik membully orang yang telah membullynya saat ada kesempatan (waktu maupun kekuatan) atau lebih sering akan melampiaskan demdamnya kepada objek yang lebih lemah (adek, teman yang lebih kecil secara usia maupun fisik, abk alias anak berkebutuhan khusus).

Kejadian demi kejadian mengingatkan kami sebagai orang tua untuk lebih peduli lagi, jangan anggap remeh bullyan, “aah… masalah anak-anak doang”. Tidak, bully bukan masalah anak-anak, bukan masalah remeh temeh. Bully bisa mengakibatkan luka jiwa hingga dewasa.

Cukuplah gambaran di sosmed, saling caci, saling bully terhadap apa saja. Beda sedikit dibully, alih-alih menasehati. Puas sekali jika berhasil membully, puas sekali jika objek malu dan terhina.

Puas sekali jika tetangga kesusahan, dighibah sana-sini, puas sekali jika anak orang gagal.

Byuuh.. hidup macam apa itu?

Adalah suatu malam, anak laki-lakiku pulang shalat maghrib dengan tertawa puas. Aku berusaha mencerna kalimatnya yang masih kacau. “Mama, dia tadi sandalnya hilang tidak ketemu, tadi aku sembunyi”.

Dia ABKku, dengan keterbatasan komunikasi, seringkali dikatain autis, diolok-olok gak bisa bicara, dikerjain disembunyikan sandalnya ketika shalat di masjid, hingga kekerasan fisik. Alhamdulillah Allah menganugerahkannya fisik yang kuat, ambang sakit yang tinggi, dan jiwa yang bersih.

Sedih hatiku, segera kulepas mukenahku dan kuajak balik ke masjid. Mengembalikan sandal temannya dan meminta maaf. Ya… anak laki-lakiku sedang melampiaskan bullyan pertamanya. Dan korbannya adalah pembully yang biasa membullynya. Sebagai ibu aku mencoba menjalin komunikasi dengan anakku sebagai korban bully, dengan anak yang membully, dan orang tua pembully.

Akupun tak rela jika pembully dibully, tak akan habis perkara, ibarat rantai setan, saling bully gak ada habisnya, sampai kapan?.

Jangan tanya sakitnya hatiku ketika anakku diolok-olok, dikatain autis, dan gila.

Tapi sakit hati saja tak akan menyelesaikan masalah. Aku yakin pembully pasti memiliki sisi tersembunyi dalam hidupnya, sebuah luka yang mungkin orang tua bahkan dirinya sendiri tak tahu apa itu. Hanya saja luka itu begitu perih, begitu dalam menghujam jantung, dan rasa sakitnya diteriakkan lewat bullyan kepada yang lemah.

“Nak, bercanda itu jika semua senang dan tertawa. Jika ada satu saja yang sedih itu namanya membully”

 

 

Akan sangat disayangkan jika kita hanya peduli ketika anak kita menjadi korban bully tapi diam saja ketika melihat anak orang dibully dan merasa aman ketika anak kita menjadi pembully.

Karena suatu saat, mereka besar menjadi manusia-manusia pengganti kita.

Karena suatu saat akan ada saatnya “kena batunya”

Karena ketika saat itu tiba, semoga belum terlambat dan bukan sesal yang tak berkesudahan.

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


× nine = 63