//
you're reading...
Uncategorized

Biar Dia Yang Pilih

MARGOCITY KEBAKARAN

Begitu berita heboh hari itu, lupa tepatnya kapan tapi di tahun 2015. Hari itu kami harus mengantar Liv yang dijadwalkan mau ujian menari di salah satu gedung di Universitas Indonesia jam 4 sore.

Padahal depok-UI via mobil normalnya hanya setengah jam lewat margonda (mall margocity berada).

Habis dhuhur tet kami memanggil taxi, jaman itu taxi online belum ada. Deg-degan sekali takut terlambat karena macet meski kami berangkat 4 jam sebelum. Rencana semula liv akan dirias di UI aku batalkan, kurias di rumah demi mengantisipasi keterlambatan.

Bapak driver menyarankan kami untuk tidak lewat margonda, macet total katanya. Akhirnya kami lewat kukusan-ISTPN-UI yang juga muwacet. Tentunya karena kabar margocity kebakaran, orang lebih memilih jalur alternatif.

Sebenarnya, budaya di sanggar tarinya jika mau ujian, harus datang dan dirias kakak pelatih jam 7-9 pagi, karena antrian yang dirias banyak. Tapi kuputuskan kurias sendiri, iya… iya… kamu mau bilang kan “belagu banget lu, dandan aja gak pernah, mau ngerias penari”, wakakak… Rapopo, ini namanya kevevet.

Bayangkan kalo aku harus datang jam 7 pagi dengan tambahan pasukan 3 balita (si kembar 2 tahun waktu itu plus mas Tangguh) dalam kondisi hamil (alhamdulillah sehat wal afiat, jadi abaikan kehamilanku). Trus kemudian kami harus nunggu sampek jam 4 sore. Bisa-bisa aku yang menari tarian dewa mabuk, eh itu jurus kungfu ya? Ah, whatever lah.

Tiba di UI jam setengah 4, alhamdulillah gak telat pikirku. Eehh ternyata jadwalnya dimajuin, dan aku telat 10 menit. Panitia memutuskan menunggu Liv, sehingga anak-anak yang satu kelompok dengan Liv mundur jam ujiannya.

“Elu tuh ya kalo gak niat gak usah masukin anak disini. Ini tuh ujian. Lu bikin kami nunggu dari pagi… bla… bla… bla…” seseibuk mencaciku. Aku berusaha memberi kode padanya agar kita bicara empat mata saja, jangan di depan anak. Tapi makin menjadi marahnya. Liv kusuruh menjauh tapi makin erat memelukku. Aku paham dia kuatir padaku. Sementara papanya menunggu di luar bersama adek-adeknya.

Yang kutakutkan terjadi, Liv menangis histeris “aku nggak mau nari lagi, aku gak suka ibu itu, aku gak mau disini, aku mau pulang”. Duuh, Allah… inikah skenariomu atas doa-doaku.

*************
Setahun sebelumnya.
“Kakak tahu gak, tubuh wanita itu aurat lho”
“Aurat apa ma?
“Bagian tubuh yang tidak boleh dilihat orang lain, bla… bla..”
Entah sudah kesekian berapa kalinya kami mengobrol tentang ini.

“Kalo sudah besar, aku menarinya pake jilbab koq ma”. Dia membaca kekuatiranku

Duuh, pengen banget aku ngomong, “nak, biarpun pake jilbab, tapi kalo meliuk-liuk badanmu bisa mengundang syahwat, gak boleh sayang” . Yaaa… dia syahwat aja belum ngerti. Gimana caranya ngomong sama anak 7 tahun ya?

Masuk sanggar tari tradisional ini hasil kompromi kami, setelah sebelumnya dia minta belajar modern dance, dan setelah sebelum-sebelumnya dengar bunyi-bunyian apa aja badannya pasti gerak.

Satu setengah bulan di sanggar tari, Liv sudah diajak mentas di salah satu mall di Depok. “Adek sudah hafal gerakannya koq bun” begitu alasan kakak pelatihnya ketika aku menyampaikan keberatanku.

Hari berlalu, kesukaannya pada tarian makin menjadi. Jadwal ke sanggar adalah jadwal yang paling dinanti. Kecintaannya pada tarian tidak seperti anak-anak TK yg menari hanya karena memang suka bergerak, bergerak santai tak beraturan, suka-suka mereka, ada yabg kekiri ada yang melompat, wakakak.

Tapi ini beda, gerakan  tariannya begitu sempurna. Posisi ndegeg, berdiri kaki dirapatkan lutut ditekuk, punggung lurus, dada dibusungkan, kuat dijalaninya. Sementara aku pernah nyoba hitungan 10 kali saja aku K. O.

FB_IMG_1571453044979

Ada getar rasa aneh, rasa tak enak nyelip di hatiku. Bagaimana jika kecintaannya pada tarian terus tumbuh hingga dia baligh? Bagaimana jika dia tidak mau menutup aurat? Bagaimana jika…. aahh

Terbayang beratnya piliannya kelak. Mungkin iya aku bisa berdalil padanya, bisa mendoktrinnya sejak saat itu. Bahwa bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216).

Tapi ada keraguan, bisakah kelak nafsunya ditaklukkan?

Terkadang, ada rasa dimana kita tak berdaya, berharap dia berubah, tapi hatinya bukan milik kita.

Berharap dia mengerti tapi nalarnya milikNya.

Berharap dia menerima tapi egonya Dia yang kuasai.

Aah, bukankah tugasku hanya meminta?
Bukankah tugasku hanya menyampaikan.
Bukankah tugasku hanya sebagai sekeping puzzle pelengkap dalam puzzle kehidupannya?.

Ya sudah, jalani saja bagianmu, biar Allah yang urus segalanya.

Nak, mama mau bilang, mama ingin mencintaimu karena Allah.
Dan jika harus membencimu, itupun karena Allah.
Tapi mulut mama rasa layu, tak pantas ngomong seperti itu, jauuuhhh panggang dari api. Nafsu keibuanku ingin mecintaimu seluas samudra setinggi Himalaya. Ingin memenuhi semua pintamu.

Maka nak, mintalah untuk dapat mencintaiNya.
Mintalah untuk dapat mencintai orang-orang yang mencintaiNya.
Mintalah untuk dapat mencintai amal yang mendekatkan diri untuk mencintaNya.

Carilah keberkahan dalam tiap langkahmu, dalam tiap putusanmu, dalam tiap muamalahmu, dalam tiap harta bendamu, dalam tiap sisi kehidupanmu.

Jika kau ingin tahu segalamu itu berkah atau tidak, maka tengoklah kedekatanmu denganNya. Karena sejatinya berkah adalah semakin mendekatkan diri padaNya.

*tanx to fb, ngingetin foto ini. Jadi tulisan deh ????

Discussion

No comments yet.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


+ one = 2